Page-10

674 69 1
                                    

10. Lara Itu Duka.

Andra membuka pintu UKS dengan sangat hati-hati, takut jika nantinya orang-orang di sana terganggu akan kehadirannya saat ini. Lelaki itu segera melangkah ke dalam, berusaha sedikit pun tidak menimbulkan suara gaduh dari pijakan kaki pada lantai.

Berbeda dari dugaan sebelumnya, ia malah mendapatkan senyuman hangat dari sang penjaga UKS. Andra balas tersenyum tipis, berjalan mendekati seorang wanita berkerudung putih tersebut.

“Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya sopan.

Andra menunjukkan bagian wajah yang terluka. “Saya ingin mengobati ini.”

“Pasti habis berantem, ya?” Andra hanya tersenyum singkat menjawabnya. Tidak perlu menyahuti, karena wanita itu sudah tahu pasti.

“Itu harus dikompres dengan air es dulu, baru kompres dengan air hangat. Agar meredakan pembengkakan secara cepat.”

Wanita itu membuka lemari kaca yang berisi obat-obatan di dalam. Jemarinya mulai bergerilya untuk mencari, membaca setiap nama dan komposisi dengan teliti. Wanita itu mengambil sekotak obat dan berjalan kembali menuju meja cokelat.

“Ini saya ada rekomendasi salep untuk kamu, biasanya sih setelah dioleskan obat ini, memarnya jadi cepat menghilang.”

Andra mengangguk dan mengambil kotak salep tersebut. Sempat membaca deskripsi sejenak dan komposisinya juga. Lelaki itu lantas mengocek sakunya begitu dalam.

“Berapa?” tanyanya yang malah mendapat kekehan pelan dari wanita di depan.

“Ini UKS, Usaha Kesehatan Sekolah, jadi gak perlu bayar. Semua biayanya udah ditanggung sekolah untuk mengantisipasi siswa-siswi yang sedang merasa sakit.”

“Ooh ... begitu?” Andra menggaruk-garuk kepala secara asal, merasa malu atas ketidaktahuan yang terlihat konyol sekarang.

“Ini kain untuk mengompresnya. Kamu bisa ambil air es di lemari pendingin dekat ranjang di bilik ke-dua.”

Lagi-lagi Andra hanya menganggukkan kepala layaknya anak kecil yang menuruti perintah sang penjaga. Andra mengambil kain kecil yang telah disodorkan dan melangkahkan kaki pada ranjang di bilik dua untuk mengambil air es sesuai arahan.

Lelaki itu membuka lemari pendingin minimalis yang menempel di dinding, cukup unik ternyata. Andra kira akan sebesar kulkas dua pintu di rumahnya.

“Jadi kamu yang namanya Lara?”

“I-iya.” Suara itu terdengar ragu dalam memastikan penyebutan namanya.

“Apakah kamu bisa ikut saya sebentar?”

“Ada apa ya, Kak?”

“Untuk konsultasi masalah mentalmu.”

“Kakak tahu dari mana?”

“Bu Dian.”

Andra mendudukkan diri perlahan di atas ranjang. Sembari membawa mangkuk putih berisi cairan dingin, matanya berfokus pada tiga bayang-bayang cukup kontras di sebelah biliknya yang hanya dibatasi gorden biru sedikit menerawang.

LA-RATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang