Page-8

686 79 0
                                    

8. Perihal Gadis Baik Hati.

Dalam sebuah rumah sederhana berhias lampu beranda, Kevin menyisikan tiga lembar telur dadar di atas piring beling. Sedangkan Chiko yang baru saja mengambil nasi di dalam panci mulai memainkan telapak tangan mengibas-ngibaskan aroma dari makanan buatan sang abang.

“Bang Engkep, baunya kok gak sedap?” tanya Chiko sedikit berjinjit untuk mengintip wujud telur dadar yang dibawa Kevin.

No problem. Meskipun baunya gak sedap, tapi gue pastiin rasanya gak kalah enak sama buatan my bunda.”

“Palingan juga gosong lagi!” ledek Chiko membawa semangkuk nasi dan berjalan lebih dulu menuju meja makan.

Tak tinggal diam, Kevin yang tidak terima masakannya dihina pun langsung menendang bokong sang adik begitu kesal. Membuat bocah tadi melenguh kesakitan sembari membalikkan tubuh untuk meninju lengan Kevin sebagai upaya pembalasan.

Namun tidak, lelaki dengan rambut berantakan itu sudah lebih dulu berlari mengitari meja makan yang baru diisi bandrek serta tiga piring kosong tersebar.

“Aduh ... Abang, nanti telurnya jatuh, loh,” ingat salah seorang wanita berkerudung panjang yang tengah duduk di atas kursi roda seusai melaksanakan sholat isya.

“Si curut deluan nih, Bun!” sahut Kevin sembari menjulurkan lidah pada sang adik di seberang meja.

“Bang Engkep rese, Bun!” kesalnya kemudian, menghentikan langkah dan berlanjut menaruh semangkuk nasi di atas meja. Anak itu lantas menarik kursi untuk memilih duduk sebab pernapasannya mulai terengah.

“Yee ... cemen lo!” ujar Kevin seraya menjitak kepala sang adik dari belakang.

“Anjing!” seru Chiko kelepasan, membuat Kevin tertawa lebar penuh kepuasan.

“Adek! Ngomong apa kamu barusan?” tanya Paula pada anak bontotnya. Wanita itu menggerakkan kedua roda untuk mendekati mereka di sana.

“Lo main sama siapa sampe bisa ngomong ANJING kayak tadi?” tanya Kevin sedikit menggertak kata anjing, berniat menyudutkan.

“Siapa lagi kalau bukan lo!” sewot Chiko.

Membelalakkan mata, Kevin segera menaruh piring di atas meja. “Dih, kenapa gue? Kecil-kecil tukang fitnah lo!”

“Anjing kan binatang. Bang Engkep juga kan binatang.”

“Anjing lo!” marah Kevin menunjuk wajah sang adik dari sisi kanan.

“Abang! Adek! Astagfirullah! Ngomong apa, sih?” lerai Paula lelah.

“Tuh kan, Bun. Gimana aku gak terpengaruh coba kalau punya Abang yang saban hari ngomongnya saru-saru,” adu Chiko tak mau kalah. “Anjing, anjir, tai, bangkek, brengsek, bajingan, as—emmphh!

Chiko beralih memukul-mukul tangan Kevin yang sudah membekap mulutnya dari samping. Sementara Kevin langsung mengulas senyum lebar kepada Paula di depan, takut jika kata-kata mutiara yang dipunya semakin banyak tersebar. Chiko lantas berinisiatif untuk menggigit telapak tangan sang abang yang besar.

Arghh! Asu!” pekik Kevin kesakitan.

Chiko tersenyum bangga sembari mengangguk-anggukkan kepala, “Itu lanjutannya, Bun.”

“Yee ... tai lo!” toyor Kevin kemudian.

“Abang, lengan kamu kenapa ada goresan? Habis berantem lagi?” tanya Paula kala atensinya berubah.

LA-RATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang