"Jadi, apa yang ingin kau tunjukkan pada kami?" Haesoo menghempaskan tubuhnya di kursi kerjanya. Menatap Jeno yang sepanjang perjalanan tadi menampilkan senyum bangganya.
Hanya saja senyuman itu sirna ketika Jeno menyadari sesuatu. Tangannya merogoh ke saku celana, mantel, kemudian mengobrak-abrik tas kecilnya. Wajah itu mendadak menjadi pucat. "Tunggu, dimana ponselku?"
Haechan yang baru saja kembali dari toilet itu menepuk pundak Jeno keras. "Tidak biasanya kau peduli dengan ponsel. Kau bisa membelinya lagi."
Tapi itu adalah pukulan yang salah. Jeno meraih tangan Haechan dan memelintirnya. "Bukan itu masalahnya. Di sana ada percakapan sang pelaku teror!" jelasnya dengan menggebu-gebu. Tak membiarkan dirinya lengah hanya karena rintihan kesakitan Haechan.
Yuta yang sedari tadi hanya menjadi pengamat itu mendadak bangkit dari duduknya. Ia sadar betul bahwa itu adalah barang bukti yang sangat mereka butuhkan selama ini. "Kita harus dapatkan ponsel itu segera," tegasnya yang disambut dengan anggukan Haesoo.
Tidak dengan Haechan yang mendesah lemas. Itu berarti malam ini ia tidak tidur lagi.
Jeno mendorong kasar tubuh Haechan. Membereskan isi tasnya yang berantakan kemudian menyampirkannya ke pundak. "Aku akan coba kembali ke area krematorium." Ia lantas meninggalkan kantor polisi dengan langkah lebarnya.
"Aku dan Haesoo pergi ke rumah duka." Yuta menggamit tangan Haesoo, menelusupkan jemarinya di antara jemari lentik milik sang istri.
Melihat ketiga kawannya begitu semangat mencari ponsel Jeno membuatnya menguap lebar. Ia meregangkan tubuhnya. "Aku tidak—"
"Kau ikut dengan Jeno." Dengan tangan lainnya, Yuta menarik tudung hoodie Haechan dan menariknya kasar.
Tepat sebelum mobil Jeno melaju, Yuta membuka pintunya dan mendorong tubuh Haechan ke dalam. Sementara ia dan Haesoo kemudian bergerak ke mobilnya untuk menuju ke rumah duka.
Jeno seperti kesetanan saat ini. Ia menyelip banyak mobil seolah ia pembalap profesional. Sedangkan di sampingnya, Haechan berusaha untuk tidak berteriak seraya mencengkeram pegangan di atas kaca jendela.
"Coba hubungi ponselku. Apakah tersambung?" tanya Jeno yang sarat akan titah.
Buru-buru Haechan mengambil ponselnya dan melaksanakan titah Jeno. Ia menggigit bibirnya mendengar hanya operator yang menjawab. "Tidak. Ponselmu dimatikan," ucapnya yang lantas membuat Jeno memukul kemudinya keras.
Di aplikasi pelacakan ponsel, Haechan memasukkan alamat surel milik Jeno. Berharap dengan itu posisi ponsel milik Jeno bisa didapatkan. Ia mendesis pelan. "Posisinya juga tidak bisa dilacak. Sepertinya yang menemukannya sudah mengganti alamat surelnya sehingga tidak bisa lagi dibaca."
"Posisi terakhir. Lihat posisi terakhir." Jeno mengusap wajahnya kasar sebelum menyalip satu truk di depannya.
"Di area krematorium. Di parkiran krematorium. Ah, aku ingat. Kau sempat menabrak seorang pria dewasa di tempat parkir. Apa mungkin dia?" pekik Haechan seraya menatap Jeno yang juga semakin tegang.
Jeno kembali memukul kemudinya, kali ini lebih keras. "Sial! Aku tidak ingat wajahnya." Lagi-lagi mereka kehilangan kesempatan padahal sang pelaku sudah di depan mata.
"Tentu saja, pria itu bermasker dan bertopi. Yang aku ingat dia keluar dari mobil yang tidak berplat."
Saat ini masih pukul 7, selang satu jam setelah mereka pergi dari krematorium. Mungkin saja pria itu masih ada di sana. "Hubungi Haesoo dan Yuta untuk menyusul ke krematorium."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
ANONYMITY - Jung Jaehyun ✔
Fanfiction[Finished - Bahasa Baku] 🔞🔞🔞 Terdapat banyak kekerasan, pembunuhan, dan adegan seksual di dalamnya. Di mohon untuk bijak memilih bacaan sesuai umur dan kondisi mental. Anonymity atau anonimitas adalah keadaan tanpa nama, dimana kondisi ini dimanf...