2. 9. RUANG RAPAT

515 74 5
                                    

"Aaarkh!" Yeona berteriak keras sesuai dengan yang diinstruksikan oleh Wendy, ketua tim kreatif Orange Clip. Ia melirik ke arah Sungchan yang sedari tadi tersenyum kecil seraya menatap ke arah ponselnya. Seperti tengah melakukan sesuatu tapi ia tidak tahu apa.

Wendy menggigit penanya seraya memejamkan mata. Keningnya berkerut, seolah belum puas dengan teriakan Yeona. "Coba teriakkan sekali lagi. Bayangkan jika ini adalah musim panas yang menggembirakan." Ia mengarahkan, mengetuk penanya pada kertas naskah di hadapannya.

Tema yang Sungchan inginkan adalah keceriaan. Ia ingin sesuatu yang menggebrak ada di iklannya nanti.

Atau alasan sebenarnya karena ia ingin merekam teriakan Yeona untuk ia kirimkan pada ayahnya. Oh, tentu ia juga akan menyimpannya untuk koleksi pribadinya.

Yeona mengatur napasnya sebelum kemudian menarik napas dalam. Di benaknya, ia membayangkan pantai dengan angin yang meniup rambutnya. Juga Jovè yang memeluknya dari belakang. Oh, menyenangkan sekali, pikirnya. "Aaaarkh!" teriaknya lagi.

Wendy menepuk tangannya keras dengan senyuman yang mengembang. Ia melirik ke arah Sungchan yang terkekeh tanpa suara. "Bagaimana Direktur Jung? Apakah kita akan menggunakan suara Yeona untuk iklannya?" tanyanya, meminta pendapat dari atasannya.

Kepala Sungchan terangkat. Menatap dalam ke arah Yeona kemudian menyunggingkan senyum separuhnya. "Sure. Suara Yeona memang cantik seperti orangnya," ujarnya singkat.

"Aku akan hubungi pihak studio untuk menjadwalkan rekamannya."

Setelah itu, Wendy membereskan naskah di hadapannya sebelum berniat untuk meninggalkan Yeona bersama Sungchan di ruang rapat. Gadis itu mengangguk kecil pada Sungchan dan Yeona sebagai bentuk hormat.

Sepeninggal Wendy, Yeona akhirnya bisa bernapas lega. Selama hampir setengah jam ia harus berteriak hanya untuk menyesuaikan selera Wendy dan itu sungguh melelahkan. Ia buru-buru meneguk air mineralnya hingga tandas untuk meredakan perih di tenggorokannya.

Sungchan terus memerhatikan Yeona. Mulai dari hal kecil seperti leher Yeona yang bergerak saat menenggak air hingga ketika gadis itu membereskan naskahnya ke dalam tas.

Pria itu bangkit, mendekati Yeona. Ia dudukkan dirinya di meja di sebelah kiri Yeona. Tubuhnya mencondong ke arah sang gadis. "Kau pasti lapar, 'kan? Di lantai satu ada pesta kecil. Bergabung lah dengan kami."

Yeona sempat memekik saat menyadari jaraknya dengan Sungchan sudah kurang dari satu lengan. Ia berdeham kecil, mendorong kursinya untuk memberi jarak di antara mereka. "Pesta apa?" tanyanya, berusaha untuk tidak terlihat risih. Kenyataan bahwa ponselnya kini tengah dibawa oleh Leo membuatnya sedikit frustasi.

Namun, pria itu justru menggeser pantatnya lebih dekat dengan Yeona. Seolah tidak peduli dengan wajah masam sang gadis. Ia sengaja.

"Bulan depan kita akan pindah ke kantor baru kita yang lebih besar. Anggap saja sebagai perayaan terakhir di kantor ini," bisiknya sedikit seduktif.

Mendengarnya, Yeona bergidik. Ia buru-buru bangkit dari duduknya seraya menyampirkan tasnya di pundak. "Ah, pasti. Aku akan ke sana duluan. Permisi." Ia buru-buru menunduk kemudian melarikan diri dari ruangan kedap suara itu. Sangar berbahaya jika sewaktu-waktu Sungchan melakukan hal yang buruk padanya dan orang lain tidak mengetahuinya.

Sialnya harapannya untuk keluar dari ruangan dengan cepat itu pupus. Ia merasakan dekapan yang kuat dari belakang yang membuatnya harus meronta untuk lolos. Pria itu sungguh kuat. Bahkan ia tidak bisa berkutik ketika hidung bangir Sungchan menelusuri leher jenjangnya.

"Kau sangat cantik. Tapi, kabarnya kau masih lajang, ya?" bisiknya seraya memberi kecupan singkat di kulit Yeona.

Yeona menggerakkan kepalanya untuk menyingkirkan bibir lembab Sungchan yang terus bergerak di lehernya. Di titik ini, ia hampir menangis. Pria itu telah melecehkannya. Ia sekuat tenaga menyingkirkan lengan kekar Sungchan yang mengikatnya. Namun, lagi, usaha itu sia-sia saja.

ANONYMITY - Jung Jaehyun ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang