Bab VIII Carek

1.3K 146 8
                                    

Happy Readiiiings

*

*

*

****************


"Apakah kau percaya sekarang?"

Mada menatap lekat manik An. Diam. Anila tersenyum tipis dan menipiskan bibirnya.

"Saya sudah tahu jawabannya." Menundukan kepalanya. "Pasti kamu tidak percaya," ucap Anila.

"Tidak, kau salah. Saya percaya," ucap Mada lembut menyentuh pipi Anila dengan kedua tangannya.

"Jadi kamu tidak akan mengarahkan pedangmu itu ke leherku lagih kan?" tanya Anila cairan bening sudah mengenang di manik Ifa.

"Tidak."

"Kamu tidak akan membunuhku kan?" Air matanya sudah mengalir di pipinya.

"Tidak akan." Tangan Mada menghapus cairan bening itu. Namun, isakan Anila semakin keras. Semua rasa ketakutan berkumpul menjadi satu. Spontan Mada memeluk Anila menepuk bahunya berusaha menenangkan.

"Gguue bbu-kan pemberontak. Gue bahkan ngak tau gimana caranya bisa.." Mada mengeratkan pelukannya menyalurkan kehangatan pada Anila.

Mada sadar sejak Anila datang hanya tekanan yang selalu dia berikan. Bahkan nyawanya dalam bahaya. Mada membiarkan Anila meluapkan semua perasaannya hari ini. Biarkan deru angin yang akan membawa semua kenangan buruk Anila. Suara percikan air sungai bersatu dengan isakan Anila.

"Sudah merasa baik?" tanya Mada setelah Anila melepaskan pelukannya.

Tidak ada jawaban, Anila masih sibuk menghapus air matanya menatap langit.

"Waahh..belutnya gosong, tidak bisa dimakan ini." Membolak balikkan pegangan kayu tusukan sesekali melirik Anila sengaja mencari perhatian.

"Bagian dalamnya masih bisa dimakan," jawab Anila serak setelah menangis.

"Aaah, bener sekali. Ingin mencobanya?"

"Jangan bagian yang gosong."

"Ini tidak gosong." Anila menerima suapan Mada.

"Bagaimana rasanya?"

"Enak."

Keduanya menikmati belut bakar hasil tangkapan. Tanpa disadari percakapan mereka lebih santai tidak semenegangkan dulu. Sampai Anila mulai terbuka, bercerita awal kedatangannya ke Majapahit. Tapi tak sampai mengatakan Chandrabha tentang simbol akar itu. Dirinya masih mencari tahu hubungannya dengan mimpinya waktu itu. Anila butuh waktu untuk menceritakan semuanya dan memastikan sendiri bagai potongan puzzle yang perlu Anila rangkai satu persatu untuk membentuk sebuah peta yang akan mengantarkannya kembali ke dunianya.

"Lihat deh anak itu, terlihat bahagia sekali tanpa beban." Menunjuk kearah anak-anak yang sedang bermain air dipinggir sungai. Tawa mereka mengudang tawa Anila.

Mada melirik Anila. Tersenyum "Saat seusiamu dulu pasti tawamu juga seperti mereka. Tanpa beban."

"Saya jadi ingat dulu. Betapa manja saya saat itu, saya ingin berenang ditemani Papah tidak ingin dengan siapapun kecuali Papah sampai semua pekerjaan Papah di batalkan demi anaknya. Saya marah waktu itu karna Papah telat datang dan memusuhinya selama 2 hari. Rasanya menyesal sekarang kenapa saya tidak menghargai usaha Papah."

"Ayahmu sangat menyanyangimu An. Ayahmu, orang luar biasa yang ingin berkorban demi anaknya."

"Iyah." Tersenyum tipis.

JAMANIKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang