BAB XXXIII ARGA SEMERU

369 38 19
                                    

Selamat malam semuaaa....

Maaf banget banget yah semua pembaca, baru update setelah sakit dan sekarang baru bisa update. Insyaallah nanti akan update teratur lagi.🙏🙏🙏😔😔😭

Siapa yang udah kepo kelanjutannya angkat tangan?

Gimana perjalanan Mada dan Anila?

Dan bagaimana nasib Drabha?

Cuusss.... Langsung baca aja yah!

Jangan pelit vote dan komen yah

POKOKNYA SUPPROT TERUS CERITA INI YAH

******************



"Kamu perlu bantuan?" tanya orang itu tersenyum miring.

Pandangan Drabha terangkat sambil mengerat genggamannya pada pedang. Tangan sama mengulur dihadapan Drabha.

Flashback, malam hari itu jauh pekat dengan keadaan sekarang. Drabha kecil menangis di dalam Gua, air Stalaktit terus menetes.

Datang seorang berjubah, pakaiannya serba hitam bertopi caping. "Kamu sendirian, Nang?" Senyuman lebar tampak saat guntur menggelegar, kilat petir menyambar tambah kesan mencekam. "Kamu perlu bantuan?" Mengulurkan tangan menampung tetesan air hujan di ujung stalaktit Gua.

Mata bulat, wajah suci dan takut menyambut tangan laki-laki misterius itu.

Waktu kembali masa sekarang.

Bahu Drabha turun, jari-jemari pada pedang merenggang ketika satu tangan berpedang itu menaikkan topi capingnya. Blegur. Draba melirik arah barat—pengejarnya menyusulnya. Diam-diam pasukan hitam menarik leher satu persatu dalam senyap hutan. Suara gemerisik dahan bergesekkan oleh angin subuh. Pasukan Blegur membunuh Prajurit Kerajaan dalam satu tarikan pedang. Bukan hal menggejutkan, mereka pasukan terlatih. Keturunan Kuti, Nambi, dan Sora.

Dahi Drabha mengernyit, merasa keanehan nampak di wajah Blegur. Langit subuh tak menyamarkan penglihatan elangnya. Jelas, manusia masa dulu penglihatan lebih tajam—terlatih dalam gelap. "Bagaimana bisa kau di sini?!" sarkas Drabha. Tidak mungkin secepat itu kode komplotan tersampaikan. Tangan Laki-laki ini dibiarkan menunggu. Blegur.

Blegur menarik satu sudut bibirnya. Matanya turun melihat telapak tangan, mendengus, mengulung jari. Air bercucuran jatuh sambil berkata, "Kau tak secepat dulu ketika menerimanya. Bahkan air hujan di tanganku tak dapat menampungnya lagi."

Ekspresi Drabha menunjukkan bahwa ia tak senang mendengarnya. Kelam terkubur, hampir ingatan itu lenyap justru tergali berkat Blegur.

Blegur berjongkok, lidah dijulur memainkan gigi taring sambil berdecih. "Lihat keadaanmu?" remehnya sengaja memukulkan perut Drabha dengan pedang Paramarta. Seketika sengatan nyeri langsung menjalar. Tubuh Drabha meringkuk memegangi perut. "Kamu masih menanyakan alasanku?" tambah Blegur.

Drabha berusaha menetralisir sakitnya. Urat wajah menegang bukan karena luka tapi jengkel. Ia tak suka terlihat lemah apalagi dihadapan Blegur. "Sudahlah, percuma saja. Saya tak butuh bantuanmu!" keras Drabha berusaha berdiri bertumpu pada pedangnya.

"Ck ck, ini disebut kuat? Berdiri saja kau tak mampu!" Blegur melipat kedua tangannya menyaksikan. Hati bertambah mekar merendahkan Drabha.

"TUTUP MULUT BUSUKMU!!!" Berdiri susah payah.

Blegur menyeringai, menotok salah titik di punggung. Drabha pingsang. Satu tangan Drabha langsung dikalungan padanya. "Berisik sekali!"

"Semua sudah selesai Tuan!" lapor Rengga balik punggung Blegur keluar dari semak hutan. "Pasukan Kerajaan memanggil bantuan tambahan pasukan untuk melakukan pengejaran. Sebagian pasukan pengikut Drabha mati," terangnya.

JAMANIKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang