BAB XXXIV PALAGAN

291 40 15
                                    

Selamat sore semua pembaca setia JAMANIKA

Salam hangat dari saya.🤗

Maaf sebelumnya baru update lagi, yah.🙏😭😭😭

Siapa disini yang mau marah, kecewa?  saya tampung. Saya terima. Maaf semuanya 😞😟

 TAPI 

JANGAN PELIT VOTE DAN COMMENT BUAT SEMANGATIN SAYA!😊

KOMEN KALIAN SANGAT BERHARGA BIKIN MOOD NULIS NAIK


****************

Kerajaan Majapahit. Lapangan Barak Militer.

Satu

Dua berlarian

Tiga barisan sudah rapi.

Prajurit sedang latihan terkejut kedatangan Sang Raja. Rajasanegara. Mereka menunduk memberi sembah hormat kompak. Tatapan tegas dan suara menggelagar mengetarkan jiwa semua prajurit. Ada apa ini?

"SIAPKAN SEMUA PASUKAN! TANGKAP CHANDRABHA HIDUP ATAU MATI!!!" tegas Rajasanegara tangan mengepal kuat meluapkan amarah.

Wajah Drabha serta berita daerah Pucangan terdengar hingga telinga Rajasanegara. Ia tidak tinggal diam mengerahkan punggawa terlatih Majapahit. Drabha bukan pasukan ece-ece cukup dikalahkan satu pengawal kerajaan. Kemampuannya tidak boleh dianggap remeh tidak teramat jauh dari Gajah Mada. Dia adalah tangan kanan mengatur segala kemiliteran jika Mahapatih bertugas keluar. Jadi untuk mengalahkannya pun tak sembarangan pula orangnya.

"JANGAN ADA AREA YANG TERTINGGAL TERMASUK HUTAN!"

"Sendika dhawuh, gusti!" Tangan Anang gemetar menyatu, mengangguk. Pedang menghujam tanah terselip diantara kedua telapak tangan. Jadi saya sekarang harus memburu temannya sendiri? Anang membatin sedih. Tak ada pilihan, ini perintah langsung dari Raja Majapahit pemimpin negeri ini.

Dengan cepat Anang, membagi Kepala Tim Bhayangkara. Termasuk Rama telah menjadi kepala tim dua saat ini. Anang adalah pengganti kekosongan tugas Drabha. Perdana Menteri dulu dijabat Gajah Mada kini diduduki empat orang. Terlihat jelas bagaimana Gajah Mada menjalankan tugas Kerajaan Majapahit dengan kekuatan otak dan fisiknya. Harapan untuk menangkap Drabha dengan bantuan Mada pun tak bisa. Diantara mereka tak ada tahu keberadaan Mada sekarang. Hilang sejak sudah.

"Kakang! Iki berarti dhewek kudu mateni Kakang Drabha? (Kakak! Ini berarti kita harus membunuh Kakak Drabha?)" bisik Rama menatap ragu Anang. Tangan mengerat pada busur panah.

Para Prajurit Majapahit telah dikumpulkan jadi satu di Lapangan Barak siap berangkat. Anang menarik Rama menjauh dari barisan. Tentu, mereka adalah Bhayangkara. Setengah bulan dinonaktifkan seluruh kegiatan karena kasus ini. Kedua bisa dianggap sebagai kaki kanan dan bernasib sama sebagai buruan.

Mata Anang melirik kanan kiri kembali menatap Rama. Memukul kepalanya keras sampai orangnya mengaduh. "Goblok kowe! Otakmu neng ndi? Awakmu iso mati! (Bodoh kamu! Otakmu dimana? Dirimu bisa mati!)"

"Iki..." Sengatan hangat mulai merambat.

"Wis, eling dhewek wong cilik. Kowe esih ana kaluarga sing diurippi. Awakmu pengin mati dhewek!"

(Sudah, ingat kita orang kecil. Kamu masih ada keluarga untuk dihidupi. Dirimu mau mati sendiri!)

"Kang mas Drabha apik kalih kula, ora sepenakke kula..." Air mata Rama sudah mengenang. Sekuat ditahan agar tak mengalir.

(Kak Draba baik dengan saya, tidak seharusnya saya...)

Tangan Anang meremas kuat pedangnya di samping badan. Mengalihkan pandangan ke langit-langit berharap ada burung menghibur desakan di dadanya. Bertahun-tahun dia bertugas dengan sahabatnya ini.

JAMANIKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang