BAB LVI Jentrung

85 9 3
                                    

Selamat siang Sobat Dei! Para pembaca setiaku...

Baru keluar dari GUA nih aku, lama juga tetapa mencari ya gitu deh ya long story

Di persilahkan, Yok sini yang mau ngomel-ngomel karena baru update.

Fiks biasa kata-kat mutiara dari gue

"JADILAH PEMBACA BERAKHLAK karena ILMU TANPA AKHLAK AMBYAR DUNIA INI"

Selamat membaca bab panjang ini

.

.

.

*******************************


"Ah, Sial!" umpat Blegur  memukul batang pohon disampingnya. "Kemana dia? Akan kupastikan wanita itu berakhir tragis," geram Blegur, napasnya naik-turun, mengepalkan tangan, menatap liar sekelilingnya. Hijau. Tidak ada apapun kecuali penampakan rimbun pepohonan.

Blegur memilih kembali ke pangkalan militernya di Pedalaman Hutan Gunung Semeru. Menyusun rencana lanjutan. Pasukannya telah berkurang banyak. Jika jalan terakhir langsung menyerang Kerajaan Majapahit. Ini namanya mati konyol. Tak ada pilihan lain kecuali mengumpulkan kekuatan yang tersisa, baik itu para abdi bodoh ini atau wanita itu. Satu-satunya kunci kemenangan. Dia takkan mungkin lari jauh.

"Aagh! Dasar wanita jalang!"
Otaknya serasa ingin meledak karena amarah.

Susunan rak berisi koleksi araknya sudah hancur jadi pelampiasan. Aksi pedang Blegur tengah membara itu terhenti saat seorang tiba-tiba masuk. Ia menoleh, mengarahkan pedangnya kearah leher orang itu. Siapa yang berani mengusiknya? Bahkan masuk tanpa izin?

Tubuh prajurit berpakaian serba hitam itu menegang. Matanya berkedip konstan, menelan ludah. "Nga-ngampunten, Gusti!" ucapnya. "Bukan maksud lancang... ahhh," prajurit itu mengerang kesakitan saat Blegur menyayat lapisan epidermis kulitnya. Namun, ia tetap berusaha melanjutkan. "Masuk tanpa izin, hamba sudah mengetuk pintu. Mungkin tidak terdengar oleh Gusti."

Penjelasan berharap berbuah pengampunan. Salah, justru makin memancing amarahnya. Gigi Blegur gemelutukan, pedangnya bukan lagi mengarah lapisan luar tapi lapisan menuju maut sekarang. Urat nadi.

"Kau anggap saya tuli?"

"Mbo-ten, mboten Gusti (tidak, tidak Tuan), su-sungguh bukan maksud hamba begitu.  Ini mengenai situasi terbaru di Kerajaan Majapahit," jelas Prajurit bernapas lega saat pedang Blegur menjauh.

"Katakan! Jika informasi ini tak sebanding dengan kelancanganmu. Nyawamu jadi penukarnya." Jari telunjuknya mengusap perlahan noda merah di mata besi pedangnya lalu melirik prajurit berwajah pucat dan mengolesakan noda itu ke bibir prajurit itu.

"Kau mengerti!"

Prajurit itu seketika menelan ludah lalu menggangguk . Tubuhnya panas dingin.

*************

Pangkalan Pasukan Anang di Gunung Semeru.

Keesokan harinya.

Cahaya matahari langsung menyilaukan mata Anang saat keluar menyibak pintu tenda. Matanya mengedar sekeliling tenda. Prajuritnya yang tersisa berbaris rapi perpleton sesuai divisi mereka dan bersiap dengan senjata masing-masing setelah sebagian dari mereka telah gugur ataupun mendapat perawatan karena terluka parah.

Di tatapnya satu persatu wajah-wajah prajuritnya yang berjuang keras bersamanya. Sorotnya matanya terhenti pada mata jernih dan sembab. Hanya terjadi seperkian detik diutarakannya lewat kedua matanya bahwa 'semua akan berakhir'. Rama mengangguk seakan mengerti maksud tatapan Anang.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 29 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

JAMANIKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang