BAB XXXVI Ranu Kumbolo

248 37 4
                                    


Selamat Siang Pembaca semuaa... 

JAMANIKA KEMBALI UPDATE NIH!

Siapa yah kepo kelanjutan perjalanan Mada dan Anila?

Siapa yang gemes sama sikap Drabha?

JANGAN PELIT VOTE DAN COMMENT YAH!🤞😉

Suka akuh baca komenan kalian jadi semangat nulisnya 😊

HAPPY READING.....

****************

"Mada! Tunggu! Ada apa, tolong jelaskan padaku!" Menahan tangan Mada.

Mada menghentikan aktivitasnya menata perbekalan pada badan kuda. Ia menatap Anila dalam terdiam. Susunan kalimat hanya mampu mengalir dalam otaknya tak mampu terucap lalu melangkah pergi menedang kayu bakar, meratakan arang bak tanah datar layaknya tak pernah ada api unggun semalam. Pedang sekilat menebas rumput ilalang menutup celah jejak mereka. Rumputan tinggi semakin menyamarkan.

"Enten nopo (Ada apa)? Emh?" lembut Anila menyetuh, menjalin jari jemari Mada. Menatap teduh. "Jika tetap diam saya pun ikut cemas."

Wajah datarnya ternyata tak bisa menyembunyikan kecemasan dalam dirinya. Mada tidak mengkhawatirkan hidupnya tapi Anila. Ia tidak ingin sejengkal pun tubuh Anila tergores. Cukup masa kelam itu tidak untuk kali.

"Mangke tak jelaske neng dalan mawon (Nanti akan kujelaskan selama perjalanan)," jawab Mada luluh. Menarik tangan Anila membantunya naik kuda dilanjut Mada naik, duduk dibelakang Anila.

"Kedhahe pangkat saniki, Gusti (Sebaiknya kita berangkat sekarang Gusti)!" ijin Wukir bersiap diatas kuda Giras. Setelah pulang mencari perbekalan Mada memberitahukan untuk mengubah rencana perjalanan. Wukir paham bergegas menghapus segala jejak yang tertinggal.

Mada mengganguk memacu kuda Anderpati. "HIYAK! HIYAAAK!"

Wukir naik segera memacu kudanya mengejar Mada didepan. Setelah bibir Anila terkatup hendak bertanya lagi seketika Mada membuka suara lebih dulu. Deru angin berdesing kanan kiri. Rimbunan pohon tampak kilat berlari menjauh. Kecepatan kuda Anderpati sama—cepat. Melewati jalan datar maupun punggungan.

"Kita harus pergi dari Gunung welirang sebelum matahari terbit esok hari atau suatu bahaya besar akan datang." Suara Mada sayup terdengar beberapa kali terbawa angin.

"Hgh? Bahaya apa?" Suara Ifa sedikit mengeras. Tubuh Ifa terkesiap deru napas hangat menyapu pipinya. Jantung Ifa berdesir, aliran hangat menjalar ke tubuh. Suara Mada jernih di telinganya.

"Entah, apa itu. Saya tak ingin sesuatu besar itu menimpamu."

Langit kelabu bersama semburat senja menilik ruang kosong. Embun turun menyapa batang dan dedaunan didalam. Kuda Anderpati melaju menembusnya. Dingin menyergap tubuh mungil Anila. Berusaha mengosok lengan mencari kehangatan. Sadar akan hal itu Mada melepaskan ikatan tali jubah luar mendekap Anila lebih dalam menyalurkan kehangatan.

Rimbunan pohon semakin hilang keatas puncak pegunungan. Gersang. Mada memacu turun penuh kewaspadaan. Wukir memimpin didepan penunjuk jalan. Hari makin gelap Mada terus melanjutkan perjalanan. Tak waktu untuk sekedar istirahat. Kepala Anila mematuk-matuk kedepan dan matanya terpejam. Untuk berjaga-jaga Mada mengikat tali pakaian luarnya pada tubuh Ifa layaknya anak kangguru bersembunyi dalam kantong induknya.

"Jika mereka sampai sana itu hal buruk," batin Mada.

*******

Prajurit memasukan kayu pada perapian. Kendi air sudah mendidih keluar mengenai kayu lalu padam. Satu dua mengosok pedangnya—tajam menngkilap. Semua terhenti karena salah seorang prajurit datang compang-camping.

JAMANIKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang