BAB XXII CHANDRABHA

510 72 1
                                    

SELAMAT MALAM PEMBACA SETIA JAMANIKA ATAU YANG BARU MASUK BACA CERITA JAMANIKA

AKU TERIMAKASIH BANGET UNTUK KALIAN SEMUA. SELALU SUPPORT DENGAN VOTE ATAU COMMENT KALIAN.

AKU HARAP KALIAN TERUS BACA KELANJUTANNYA, VOTE AND COMMENT 
JAMANIKA SAMPAI CERITA INI SELESAI.


SELAMAT MEMBACAAAAA.........

**************************************

Mada menarik pedangnya mengarah pada leher Drabha. "Apa kamu membunuhnya?" tanya Mada giginya gemelutukan menatap mata Drabha tajam.

Bola mata Drabha melebar, tubuhnya menegang menurunkan busurnya. Drabha mengalihkan pandangan membuang nafas kasar. Tubuhnya kembali biasa, mulai menyeringai kemudian menatap Mada. "Dia pantas menerimanya!" ucap Drabha mengangkat busurnya cepat melepaskan kukungan pedang Mada di lehernya. Keduanya mundur beberapa langkah.

"Apa maksudmu?" tanya Mada bingung menurunkan pedangnya. "Jadi benar kamu yang membunuhnya?"

"Dan kamu yang berikutnya! Kamu dan dia telah membunuh ibuku, satu-satunya keluarga yang saya punya. Kamu membunuhnya di depan mataku! Kau tidak menginggatnya?" Cairan bening sudah mengenang di pelupuk mata Drabha.

************************

Semua berjalan dengan indah awalnya. Desa Lumajang bagian dari Kerajaan Majapahit yang tentram. Ladang sudah di penuhi petani menanam padi dan singkong. Pasar Langreg dipenuhi dengan pedagang dengan berbagai macam dagangan. Bapak tua berpakaian penuh lumpur memacu kerbau membawa gerobak membawa hasil panen. Senyum ramah, saling sapa tidak pernah tertinggal ketika penduduk bertemu. Suara gelak tawa anak penduduk bermain gangsing, berlarian saling mengejar di pertengahan pasar tanpa beban, diantara mereka ada anak bernama Chandrabha. Ibunya dari jauh tersenyum melihat Drabha. Berdiri di depan tempat dagangannya. Hingga orang berlarian dari arah barat menabrak pedagang yang membawa sayuran. Para prajurit bersenjata lengkap mulai berdatangan siap berperang. Kepala prajurit masih duduk di atas kuda. Semua mulai saling menyerang penduduk. Suara riuh penduduk berlarian menyelamatkan diri. Suasana pasar tidak terkendali, semua porak poranda. Tanah coklat mulai ternoda darah. Ibu Drabha berlari mencari presensi anaknya.

"Drabha!" teriak Ibu Drabha berlari ke arah Drabha.

"Biyung! (Ibu!)" teriak Drabha terhalang orang yang berlarian menyelamatkan diri. Tubuh kecilnya menyusup ke dalam mencari dimana suara ibunya berada. Saat bertemu, Ibu Drabha mengenggam kuat tangan anaknya berlari keluar dari pasar.

"Tangkap semua orang yang berkomplot!" tegas Kepala Prajurit Istana.

"Biyung? Enten nopo iki?" tanya Drabha gemetar bersembunyi di balik tembok rumah penduduk beranyamkan bambu. Duduk berjongkok di samping ibunya.

("Ibu? Ada apa ini?")

"Eling Le, ojo ndeleng mburi pokokke mlayu, ojo nyuara, itung siji sampe sewu, Kade'e dados larene Biyung sing kuat, ngerti Le?" ucap Ibu Drabha menepuk genggaman tangan Drabha.

("Ingat Nak, jangan melihat ke belakang langsung lari, jangan bersuara, hitung satu sampai seribu, harus jadi anak ibu yang kuat, paham Nak?")

Drabha mengganguk. "Uhm, ngerti. Mlayune kalih Biyung."

("Uhm, paham. Larinya sama Ibu.")

Gerakan Prajurit mulai ke arah mereka. Dobrakan pintu secara brutal terdengar keras. Detak jantung keduanya berdegub kencang. Drabha ketakutan memeluk Ibunya erat.

JAMANIKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang