Anindira menghembuskan napas berat, entah sudah terhitung berapa puluh menit laki-laki disampingnya ini diam tanpa kata. Namun karena tidak ingin menginterupsi, Anindira juga memilih diam sambil menjilati ice cream ditangannya.
Sore tadi sekitar pukul 15.00, Jakie tiba-tiba mengajaknya untuk keluar, dan berakhir ditaman ini. Kini mereka berdua tengah duduk diatas rerumputan tanpa alas, mereka menghadap danau besar yang berada dipusat taman ini. Jakie masih menggunakan seragam sekolah, tetapi ia tutupi dengan hoodie hitamnya.
Anindira tahu, laki-laki itu baru selesai rapat yang mengharuskan ia pulang lebih lambat dari murid lain. Mengenai kejadian kemarin, sejujurnya Anindira khawatir. Tetapi ia tidak ingin mengganggu Jakie dengan mengirim belasan chat atau ribuan pertanyaan penasarannya. Singkatnya, ia memberi Jakie waktu, karena dari tatapannya, Anindira tahu hal ini sepertinya bukan hal yang mudah bagi Jakie.
"Maaf bikin kamu nunggu atau mungkin penasaran, hal ini enggak pernah mudah bagi saya ataupun bagi Bunda. Sekarang saya enggak akan buat kamu penasaran lagi, Nin. Saya akan cerita semuanya dan semoga setelahnya kamu nerima Jakie yang fragile ini."
Anindira menatap lekat mata Jakie, perempuan itu merinding, didalam hatinya kini seperti ada yang mencelos saat melihat tatapan Jakie yang kosong.
"Pertama, sorry saya bohong ke kamu. Kemarin gue saya nginep di Bandung, saya enggak ketemu Sagha. Tapi tenang aja, saya enggak kemana mana. Saya tidur dirumah Jayden."
"Yang kedua, maaf enggak ngabarin apa-apa lagi setelah kemarin kamu turun dari mobil saya. Jelas alasannya bukan mau buat kamu khawatir, tapi saya emang malas pegang ponsel. Let's say, iya saya menghindari kontak dengan siapapun."
Jakie berdeham pelan, menetralisir degup jantungnya yang berdegup semakin kencang. Dalam hitungan detik ia akan bercerita sisi lain dirinya kepada orang lain. Orang yang bukan Sagha dan Jayden.
"Nin, ini akan jadi cerita panjang, dan saya enggak pernah tahu respons kamu setelahnya akan gimana. Tapi saya enggak mau kalau nanti kamu dengar cerita ini dari orang lain."
"Saya lahir Belanda, Nin. Bokap anak pertama dan satu-satunya, jelas saya enggak punya paman dan sepupu terlebih juga saya anak satu-satunya sama seperti Papa."
"Sampai akhirnya saya harus menerima Nicolaas menjadi adik saya, saat umur saya waktu itu sudah 13 tahun. Jelas saya udah mengerti banyak hal."
"Dulu Papa dijodohkan dengan ibunya Nicolaas, tapi saat itu Papa lebih memilih Bunda ya karena mereka love each other. Jelas Oma marah dan kecewa, ada dua alasan, yang pertama Karena Papa seenaknya mengambil keputusan, dan yang kedua karena Bunda orang asia."
"Jujur saya enggak ngerti kenapa itu jadi hal yang besar cuma karena Bunda Asian. Singkat cerita begitulah, Papa dan Bunda menikah, Ibunya Nicolaas juga menikah dengan laki-laki lain. Akan jadi lebih singkat dan menyenangkan kalau berakhir sampai disitu, kan? Tapi enggak, Nin. Enggak setelah saya tiba-tiba harus dibuat naik darah saat Nicolaas dan Ibunya datang kerumah keluarga kami di Belanda. Dan mengumumkan kalau pernikahan akan diadakan seminggu kemudian."
"Yang lebih mengejutkan adalah Bunda gak kaget, Bunda diam aja, dirumah itu cuma saya yang kaget. Saat itulah saya menyimpulkan kalau Bunda sudah tahu lebih dulu. Saya enggak bisa bayangin gimana sakitnya beliau harus bertahan dirumah neraka itu."
Anindira menggenggam tangan Jakie, tangan kanannya sibuk mengelus punggung Jakie yang sedikit menggebu.
"Kamu bisa bayangin saya sekaget apa saat tahu mulai detik itu saya harus berbagi Bapak sama orang lain. Dan setelahnya, Papa enggak pernah ada waktu lagi buat saya, juga buat Bunda.Saya harus tidur berdua sama Nicolaas, harus berangkat sekolah sendiri karena Papa antar Nicolaas. Saya biasa aja sama Oma karena memang gak pernah diperlakukan baik sejak saya kecil."
"Setelah hari pernikahan, tepat setelah acara selesai, saya balik ke Indonesia sama Bunda. Bisa dibilang kita mulai hidup baru, Bunda buka toko kue, dulu masih kecil banget. Saya selalu tanya ke Bunda, kenapa enggak divorced tapi Bunda selalu jawab pernikahan itu bukan kemauan Papa,sejujurnya saya enggak peduli sumpah, terserah pernikahan itu kemauan siapa, tapi sangat disayangkan Papa enggak bisa mempertahankan keutuhan rumah tangganya sama Bunda."
"Baru lah satu tahun setelahnya ada kabar dari Papa, saat hidup saya dan Bunda udah stabil, beliau hubungi Bunda lagi, tanyak kabar saya, tanya keseharian kita gimana.Udah basi sih menurut saya, saya sudah terbiasa hidup tanpa Papa sampai saat ini."
"Ini kali pertama Papa datang lagi ke Indonesia sejak pernikahannya itu, Bunda sering sih bolak-balik ke Belanda atau Jerman ketemu Papa, saya enggak pernah karena malas."
Jakie menghembuskan napasnya, menoleh kepalanya melihat Anindira yang kini sedang menangis.
"Lho kok nangis, Nin?"
Tanpa basa-basi Anindira menubruk lengan Jakie, memeluknya dengan erat sambil sesegukan. Aduh kok jadi dia yang nangis.
"Hei, kenapa? Kok nangis, Nin?"
"Lo udah ceritanya, Jek?" Ucap Anindira sambil mengusap air matanya.
"Udah, kenapa? Lo ilfeel ya?"
Anindira menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Enggak, gue enggak ilfeel. Gue bangga sama lo karena lo hebat, lo kuat."
Jakie tersenyum, mengusak puncak kepala Anindira, lalu menempelkan pipinya diatas kepala Anindira.
"Makanya kemarin saya cepat-cepat bawa kamu pergi dari hadapan Oma, saya masih takut, saya takut kalau nanti kamu kena kritik, takut kamu enggak memenuhi kriterianya."
Anindira menegakan tubuh, mengerutkan alisnya, "Kriteria apa maksud lo?"
"Kriteria sebagai calon pacar."
"Calon pacar siapa?"
"Calon pacar Nicolaas."
"Sinting."
Jakie tertawa keras, menepuk pahanya dengan heboh, setelahnya mencubit pipi gempal milik Anindira yang sedikit lembab karena air mata.
"Emang enggak mau?"
"Enggak mau apa?"
"Enggak mau jadi pacarnya Nicolaas?"
"Enggak kan Nicolaas udah punya pacar."
"Kalo calon pacar saya, Nin?"
"Enggak mau."
"Kenapa enggak mau?"
"Enggak mau kalau cuma calon."
Jakie terpaku, mengusak rambu Anindira. "Udah pintar gombal ya sekarang?"
"Lo juga tuh."
Jakie tersenyum, menatap lurus ke arah danau yang airnya tenang, bersamaan dengan sunset yang berwarna jingga menghiasi langit. Anindira bisa dikatakan menerima sisi fragile Jakie, perlahan telah selesai, urusan status bagaimana nanti. Toh Anindira juga tidak menuntut macam-macam.
Thank you Anindira, for accepting Jakie as he is.
KAMU SEDANG MEMBACA
HOODIE BOY || JAKE SIM [END]
FanfictionDua remaja ini disatukan saat keduanya memiliki rasa takut pada hati mereka. Saat mereka ingin melangkah lebih jauh, namun takut tergelincir pada pijakan pertama. Lalu bagaimana keduanya berjalan beriringan, bagaimana mereka memulai langkah bersamaa...