Anindira duduk dengan risau di atas kasurnya, ia kini sudah berpakaian rapih siap menuju bandara untuk menghampiri Jakie. Iya. Pesan terakhir yang Jakie kirim kemarin berhasil membuat hati Anindira tergerak. Namun setelah siap dengan pakaiannya, kini perasaan ragu menghampiri Anindira. haruskah ia menghampiri Jakie? apakah keputusannya benar? Apakah akan canggung meningat Anindira sudah mendiami Jakie selama satu minggu?
Pukul 10.12 ketika Anindira mengecek ponselnya, perasaan ragu dan keringat dingin mulai muncul. Ia mencoba menggulir layar ponsel dengan tangan bergetar. Seharusnya Jakie sudah ada di Bandara sekarang. Mungkin ia sudah tidak bisa menemui Jakie lagi. Detak jantungnya mulai berdegup sangat kencang, haruskah ia menemui Jakie dan mengucapkan salam perpisahan atau ia biarkan perpisahan ini berjalan dengan sepi.
Ia sedari tadi merefresh tampilan Instagram, berharap Jakie mengupdate sesuatu pada instastory nya, begitu juga dengan Instagram Nicolaas, Intagram Jayden dan Sagha, serta status whatsapp Bunda. Namun mereka semua tidak membuat Update an apapun membuat Anindira semakin risauh.
Seseorang membuka pintu kamar Anidira, terlihat Mama sedang mengintip dari balik daun pintu. Lalu berjalan masuk menuju kamar saat Anindira tidak mengeluarkan protesan. Mama duduk di sebelah Anindira, mengelus kepala putri nya dengan sayang. Lalu menyerahkan sebuah amplop berwarna coklat.
"Titipan dari Jakie."
Setelah mengucapkan kalimat itu, Mama keluar. Membiarkan putrinya sendirian dalam kebingungan. Dengan tangan bergetar Anindira membuka amplop tersebut. Membuka kertas yang terlipat menjadi beberapa bagian. Lalu membaca deretan kalimat dengan tulisan khas tangan Jakie.
Awalnya surat tersebut hanya berisi kata-kata biasa, namun saat sampai pada bagian pertengahan surat, Anindira merasa degupan pada jantungnya semakin mengeras. Setelah membaca suratnya sampai akhir, Anindira beranjak dari duduknya. Menyambar kunci mobil dan berlari menuju garasi, hal itu tentu menjadi perhatian bagi Mama yang kini sedang berada di dapur, diam-diam Mama tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.
Anindira menjalankan mobilnya dengan kecepatan maksimal, seharusnya perjalanan menuju ke bandara dari rumahnya hanya memakan waktu kurang lebih 45 menit jika tidak macet. Seharusnya. Anindira pikir jika ia mengendarakan mobil dengan kecepatan maksimal ia setidaknya bisa sampai dengan waktu 30 menit saja. Namun naas, di setengah perjalanan, kemacetan lalu lintas tak bisa dihindari akibat adanya kecelakaan, Anindira mencoba menelepon Jakie namun pemilik ponsel sepertinya sudah menonaktifkan ponsel.
Entah karena memang sedih, kalut, atau menyesal, air mata jatuh dengan deras dari pelupuk mata perempuan itu. Sudah pukul 10.43 Anindira kalut. Mencoba terus menerus menelepon Jakie walau ia tahu ponsel Jakie tidak aktif.
Dengan pikiran yang masih kacau dan terjebak macet, Anindira akhirnya menelepon Jayden. Satu-satu nya orang yang terlintas dalam pikirannya.
"Halo? Kenapa nin?"
Anindira bernapas lega, ia menghapus bulir air matanya yang sudah membasahi hampir seluruh wajah.
"Jayden lo dimana?"
"Ini di Bandara nganterin Jakie, lo dimana sih? Enggak datang?"
Entah bagaimana asalnya, tiba-tiba tangisan Anindira menjadi histeris. Membuat Jayden yang berada di seberang telepon kebingungan.
"Kecelakaan. Macet. Bilang Jakie tungguin gue."
Bukan Jayden yang membalas, tetapi suara yang Anindira kenali, suara yang Anindira rindukan.
"Nin? Hallo? Nin kamu baik-baik aja kan? Kamu dimana, siapa yang kecelakaan?"
"Jakie tungguin aku please, ini aku ngebut sekarang juga jalannya udah enggak macet."
"Nin, teleponnya jangan dimatiin aku khawatir!"
"Kamu jangan berisik dulu, aku lagi ngebut!"
"Nin dengerin aku! Jangan ngebut, pelan-pelan aja!"
Namun tidak ada jawaban dari Anindira, perempuan itu fokus menginjak gas sekencang yang ia bisa agar cepat sampai ke Bandara. Ini pertama kali Anindira mengendarakan mobil sekencang itu. Ia juga tidak tahu keberanian darimana yang merasuki tubuhnya sampai-sampai ia berani menyetir mobil sekencang itu.
Keringat dingin masih membasahi telapak tangannya, degup jantung masih terpacu sangat kuat. Berkali-kali ia mengecek jam tangan di tengah sesi menyetir mobilnya. Handphone yang ia tarus di atas dashboard terus saja berbunyi. Jakie terus mewanti-wanti agar Anindira tidak kebut-kebutan saat membawa mobil. Tentu hal itu Anindira abaikan, karena pikirannya sekarang adalah 'bagaimana cara sampai bandara secepat yang ia bisa.'
Anindira menghela napas saat berhasil memarkirkan mobilnya di Bandara, keluar secepat mungkin dari mobilnya dan berlari mencari Jakie. Ia bahkan tidak membawa tas, hanya ponsel dan kunci mobil yang ia genggam. Seakan belum cukup, Anindira semakin kalut saat pemberitahuan boarding pesawat yang akan Jakie tumpangi, membuat matanya kini berkaca-kaca lagi karena masih belum menemukan Jakie.
"Nin, tengok kanan!"
Tepat setelah mendengar arahan Jakie, Anindira akhirnya bernapas lega saat menemukan laki-laki yang ia cari. Anindira berlari secepat mungkin dan menubruk Jakie ke dalam pelukan, pelukan yang juga Jakie sambut dengan hangat. Air mata meleleh begitu saja, membasahi sedikit jaket milik Jakie.
Jakie melepas pelukan Anindira, memegang kedua bahu Anindira dengan lembut. Anindira sedikit mendongak menatap Jakie, ingin mengucapkan sesuatu namun tidak jadi karena Jakie mendistraksi nya dengan usapan halus di pipi. Jakie menghapus air mata Anindira.
"Nin, dengerin aku! Aku udah enggak punya waktu karena harus boarding, sekarang aku tanya kamu baik-baik. Would you be my girlfriend?"
Hening. Anindira tidak membalas pertanyaan Jakie. Yang ada hanyalah remasan kuat dari Anindira di jaket milik Jakie.
"Nin, aku enggak punya waktu banyak." Suara Jakie lirih.
Tak lama pengumuman boarding berbunyi lagi, membuat Jakie melepas tangannya dari bahu Anindira.
"Gakpapa kalau belum siap, see you Nin!"
Jakie beranjak pergi ingin menghampiri Bunda dan Sahabatnya untuk pamit, namun belum sempat melangkahkan kaki, seseorang memeluknya dengan sangat erat. "Ayo pacaran!"
"Hah?"
"Ayo pacaran! Aku siap LDR, gakpapa asal sama kamu."
Jakie tertawa, memeluk Anindira dengan erat. Mencium pucuk kepala Anindira yang menguarkan wangi vanilla. Jakie kemudia melepas pelukan, mengacak rambut Anindira dengan gemas lalu mencubit pipi pacarnya.
"See you ya, Cantik! I love you."
Dengan begitu Jakie melangkahkan kaki menuju Bunda, mencium pipi Bunda sebagai tanda perpisahan, memeluk Nicolaas, Jayden, dan Sagha. Lalu melangkahkan kaki menjauh dari orang-orang yang mengantarnya.
Langkah kaki Jakie yang menjauh adalah akhir dari cerita Hoodie Boy, telah usai cerita Anindira dan Jakie yang dipertemukan karena ketidaksengajaan. Sampai bertemu di lain cerita, sampai bertemu lagi saat Jakie kembali.
____End
KAMU SEDANG MEMBACA
HOODIE BOY || JAKE SIM [END]
FanfictionDua remaja ini disatukan saat keduanya memiliki rasa takut pada hati mereka. Saat mereka ingin melangkah lebih jauh, namun takut tergelincir pada pijakan pertama. Lalu bagaimana keduanya berjalan beriringan, bagaimana mereka memulai langkah bersamaa...