11 : Menerima

750 91 13
                                    

"Je? Jemima!"

Sebuah tepukan pelan di pundak wanita itu membuat lamunannya buyar. Ia menoleh cepat pada Windy yang kini memandangnya khawatir

"Iya mbak? Kenapa?"

"Kamu gak apa? Kayaknya akhir-akhir ini lagi banyak pikiran."

"Nggak apa kok mbak."

"Beneran gak apa Je?"

Kini Alin turut menimpali. Ibu satu anak itu mendekat dengan membawa secangkir kopi dan memberikannya pada adik iparnya itu.

"Gak apa kok mbak. Makasih kopinya. Oh iya, hari ini jadi lembur kan?"

"Kayaknya kamu gak bisa lembur Je."

"Hm?"

Wanita itu mengikuti arah pandang rekannya. Dilihatnya Jeffry baru saja memarkirkan mobil dan bergegas keluar.

"Aku pulang duluan ya."

Pamitnya seraya bangkit dan meraih tasnya. Berjalan keluar dari ruang kerja dan melewati sang suami begitu saja. Sementara Jeffry kembali menoleh pada tiga orang yang sedari tadi menatap kearahnya. Pria itu pun tersenyum tipis sebelum ia kembali memasuki mobil.

"Kayaknya Jemima lagi ada masalah. Dia gak cerita apa-apa mbak?"

Mendapat pertanyaan tersebut, Alin hanya menggeleng pelan. Kedua wanita itu beralih menatap Tian yang tengah di sibukkan dengan kameranya. Menyadari jika dirinya tengah menjadi pusat perhatian, pria itu pun mengedikkan bahunya.

"Gak semua masalah harus di umbar. Apalagi kalo itu bersifat pribadi."

Ujarnya seraya bangkit dan berjalan menuju meja kerjanya. Menanggapi perkataan pria itu, Alin dan Windy hanya dapat menghela nafas pelan dan mengangguk setuju.

Sementara berbeda dengan ketiga orang yang sedari tadi banyak berbicara, lain halnya dengan suasana mobil kedua orang yang kini saling terdiam. Sudah seminggu semenjak kejadian itu, baik Jemima maupun Jeffry tak pernah terlibat percakapan apapun kecuali hal-hal yang melibatkan putri kecil mereka. Lebih tepatnya, wanita itu lah yang seolah tak menganggap keberadaan sang suami.

Selama kesunyian menyelimuti suasana mobil, selama itu pula keduanya larut dalam pikiran masing-masing. Hingga mobil yang mereka naiki telah sampai di kediaman milik papa Jemima. Wajah datar wanita itu seketika berubah ketika ia keluar dari mobil dan mendapati Kayla yang berlari tergesa-gesa menghampirinya.

"Tumben jemputnya lebih awal."

"Mas Jeffry jemputnya kecepetan pa."

Sahut wanita itu seraya menggendong putrinya sementara Jeffry hanya mengangguk tersenyum dan memperhatikan sang istri dalam diam.

"Kita langsung pulang ya pa."

"Loh kok buru-buru? Ayo makan disini dulu."

"Lain kali aja pa. Aku masih ada kerjaan."

"Yaudah. Hati-hati di jalan."

Keduanya tersenyum dan mengangguki ucapan pria paruh baya itu sebelum kembali memasuki mobil. Dan yang terjadi setelahnya, suasana berubah sedikit hangat karena wanita itu tak lagi diam. Ia sibuk mengajak putri kecilnya bersenda gurau sepanjang perjalanan mereka kembali ke kediaman.

Sesampainya di rumah pun tak ada percakapan antar keduanya. Jemima bergegas memasuki kamar dan meletakkan Kayla yang telah tertidur ke dalam baby box. Sementara Jeffry kembali di sibukkan dengan pekerjaannya. Ya. Begitulah hari-hari yang mereka lalui setelah kejadian tak terduga itu menimpa kedamaian rumah tangga yang susah payah dibangun.

-

Jeffry mengerutkan keningnya ketika ia tak mendapati keberadaan sang istri di ranjang. Dilihatnya jam masih menunjukkan pukul dua dini hari. Seketika ia menyalakan lampu tidur dan mulai bangkit dari tempatnya. Menoleh sekilas pada Kayla yang masih tertidur di keranjang bayinya.

Pria itu pun bergegas menuju pintu kamar dan membukanya. Berjalan menuju ruang tengah dan menyalakan lampu. Sedikit tersentak begitu mendapati Jemima yang terduduk di salah satu sofa dengan pandangan kosong.

Perlahan ia melangkah lebih dekat hingga hanya berjarak beberapa langkah dari wanita yang kini menyadari keberadaannya. Dengan menghela nafas pelan, Jeffry terduduk di salah satu sofa. Seolah mengerti jika ada banyak hal yang harus mereka bicarakan saat ini. Namun hampir satu jam berlalu, nyatanya tak ada satu pun dari keduanya yang berniat untuk buka suara.

"Je.."

Pada akhirnya Jeffry memberanikan diri untuk angkat bicara. Namun ia kembali terdiam begitu menyadari buliran bening yang menggenang di pelupuk mata sang istri. Ia lantas mendekat dan hendak menyeka air mata yang kini telah jatuh. Namun Jemima lagi-lagi membuang muka. Seolah enggan bersentuhan dengan pria itu. Sementara Jeffry menunduk dan menghela nafas pelan.

"Kenapa harus Nadia.."

Gumamnya membuat Jeffry kembali menatap sang istri dengan tatapan sendu. Sama halnya dengan Jemima yang kini menatap suaminya dengan sepasang mata yang memerah.

"Aku uda anggep Nadia sebagai saudara aku sendiri. Bisa-bisanya kalian-"

Jemima tak mampu melanjutkan kalimatnya. Wanita itu kembali menumpahkan tangis yang selama beberapa hari ini tertahan dan ia sembunyikan dari orang lain.

"Jemima.."

"Iya mas, aku Jemima. Istri yang kamu janjikan untuk selalu bahagia. Yang selalu kamu buat bersyukur karna menjadi wanita yang kamu pilih. Setidaknya sampai beberapa saat yang lalu. Sebelum kamu hancurkan semua kebahagiaan itu."

Jeffey kembali tertunduk dan mengusap wajahnya.

"Lihat? Kamu bahkan gak punya hal apapun yang bisa kamu ucapin buat membela diri."

"Maafin aku Je."

Jika kata maaf pada umumnya dapat membuat kemarahan seseorang sedikit mereda, namun hal itu tak berlaku pada Jemima. Kata maaf yang baru saja terlontar dari pria yang menikahinya tujuh tahun lalu itu terasa bagaikan vonis hukuman mati baginya.

Jemima kembali menangis. Kali ini cukup nyaring hingga mungkin dapat di dengar oleh para tetangga jika saja mereka tengah terbangun pada dini hari ini.

"Aku gak bisa maafin kamu mas. Gak akan pernah bisa. Kamu uda khianatin semua kepercayaanku."

"Aku tau."

"Tapi aku juga gak bisa biarin semua masalah ini berlarut-larut."

Wanita itu menghapus sisa-sisa air matanya dan kembali menatap sang suami.

"Aku gak akan pernah biarin Kayla ngalamin apa yang uda pernah aku alamin dulu."

Jemima perlahan bangkit dan hendak kembali ke kamar. Namun langkahnya terhenti tepat di depan pintu.

"Pertanggungjawabkan kesalahan kamu. Tapi jangan sampai keluarga dan temen aku tau. Kalo setia gak bisa kamu lakuin, setidaknya jaga harga diri aku di depan mereka."

Ujarnya kemudian memasuki kamar. Sementara Jeffry menghela nafas panjang dan kembali mengusap wajahnya.

~~~

Sajak Tentang Memaafkan [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang