10 : Terungkap

804 83 5
                                    

"Gak di angkat juga mbak?"

"Nggak Win. Duh, ini anak kemana sih? Tadi bilangnya cuma mau jemput Kayla."

Gerutu Alin yang kembali melakukan panggilan untuk yang kesekian kalinya. Sementara Tian yang sejak tadi hanya duduk diam di depan layar komputernya beralih pada dua wanita di sampingnya.

"Rapatnya mulai sekarang aja mbak. Gak enak uda di tungguin."

"Ya masalahnya Jemima gak bisa dihubungin dari tadi."

"Bahan rapatnya ada di aku kok. Uda kita mulai sekarang aja. Mungkin dia lagi ada kepentingan mendadak."

"Iya mbak. Mulai sekarang aja ya."

Alin menghela nafas pelan dan menyetujui saran dari kedua temannya. Mereka pun mulai mempersiapkan segala keperluan yang di butuhkan.

Sementara di lain tempat, Jemima yang baru saja memarkirkan mobilnya, lantas bergegas memasuki rumah. Berjalan cepat menuju ruang tamu dan terduduk di salah satu sofa. Tubuh wanita itu masih tampak bergetar walau tak seperti sebelumnya. Raut wajahnya nampak linglung, seolah tak mengerti dengan apa yang baru saja ia hadapi.

Suara dering ponsel membuat lamunannya tersadar. Dilihatnya nama sang ayah yang terpampang di layar. Ia meraih benda persegi itu dan menatapnya cukup lama. Menelan salivanya dan menghirup nafas dalam kemudian menghembuskannya sebelum wanita itu memutuskan untuk menjawab panggilan tersebut.

"Halo pa."

"Je, kamu dimana? Masih lama?"

Jemima menggigit bibir bawahnya dan bersusah payah menghela nafas samar. Genangan buliran bening di pelupuk matanya tak dapat ia tahan kini.

"Je?"

"Maaf pa. Kayaknya aku gak bisa jemput Kayla deh."

Sahut wanita itu berusaha menormalkan nada bicaranya. Menghapus kasar air mata yang kembali membasahi wajahnya.

"Kamu masih ada kerjaan?"

"Iya pa. Ada kerjaan mendadak di luar kota. Aku terpaksa ikut."

"Suami k-"

"Mas Jeffry ada rapat juga sampe malem. Kayla tidur di rumah papa dulu gak apa kan? Besok baru aku jemput."

"Gak apa dong sayang. Uda lama juga papa gak tidur sama si cantik ini."

Jemima tersenyum tipis hingga akhirnya pintu yang terbuka membuat perhatiannya teralihkah. Sorot mata wanita itu kembali tersirat amarah.

"Nanti aku telfon lagi pa."

Ujarnya seraya memutus panggilan. Sementara Jeffry bergegas menghampirinya. Berlutut di hadapan sang istri dan menggenggam erat kedua tangannya.

"Je, aku-"

"Uda berapa lama mas?"

Tanya Jemima menyanggap ucapan suaminya. Sementara pria itu hanya terdiam dan semakin mempererat genggaman tangannya.

"Aku tanya uda berapa lama!"

Bentaknya dengan tangis yang kembali pecah.

"Dengerin aku dulu Je."

"Apa yang harus aku dengerin? Dari mana aku harus dengerin cerita kamu? Dari kamu mulai ada rasa ama dia? Atau dari kalian mulai ada main? Ah, atau dari kalian ngelakuin hal itu sampe bikin dia hamil?"

Sepasang mata pria itu membulat kini. Ia memandang Jemima dengan tatapan penuh arti kemudian tertunduk. Sementara isak tangis wanita itu semakin menjadi. Melayangkan pukulan-pukulan keras di pundak sang suami.

"Gila kamu mas. Anak kita Kayla bahkan masih kecil. Tega-teganya kamu ngelakuin ini."

"Je.."

"Harusnya kamu bisa mikir mas sebelum ngelakuinnya. Kalaupun bukan buat aku, pikirin anak kamu. Pikirin masa depan dia yang masih panjang. Bisa-bisanya kamu ngehamilin anak orang?"

Tangisnya yang kini menutupi wajah dengan kedua telapak tangannya. Jeffry bangkit dan hendak memeluknya. Namun Jemima kembali menepisnya. Wanita itu bangkit dan memandangnya penuh amarah. Tanpa sepatah kata, ia lantas berbalik dan berjalan menuju kamar. Membanting pintu dan menguncinya.

Jemima bersandar pada pintu dan tubuhnya perlahan jatuh terduduk. Kembali menumpahkan tangisnya yang begitu pilu dan menepuk dadanya berulang kali. Berharap dapat mengurangi sedikit saja rasa sesaknya.

Terdengar suara ketukan pintu dari luar serta suara Jeffry yang memohon berulang kali agar wanita itu bersedia untuk mendengarkannya. Namun rasa sakit yang menghujam dada telah membuat Jemima tak menginginkan apapun lagi selain ketenangan. Ya. Setidaknya wanita itu membutuhkan waktu.

-

Sepasang mata yang terpejam itu perlahan membuka. Gelap. Ruangannya begitu gelap. Jemima mengalihkan pandangan pada jam dinding dan waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Terdengar helaan nafas pelan dari wanita itu. Menyadari jika dirinya tertidur setelah kelelahan menangis selama berjam-jam.

Jemima mengubah posisinya menjadi duduk bersandar. Meraih ponsel yang ia letakkan di atas nakas. Ia kembali menghela nafas pelan begitu terdapat setidaknya sepuluh panggilan tak terjawab dari Alin, tiga panggilan dan lima pesan dari Windy, serta dua pesan dari Tian. Ia tertawa miris ketika menyadari tak ada satupun panggilan maupun pesan dari pria yang telah berhasil membuat kepalanya terasa ingin meledak kini.

Perlahan wanita itu bangkit dan meletakkan kembali ponselnya. Menyalakan lampu kamar dan berjalan menuju pintu kemudian membukanya. Ia kembali terdiam begitu mendapati keberadaan Jeffry yang terduduk di depan pintu, perlahan mendongak dan menatap Jemima dengan tatapan sendunya. Sepasang netranya nampak lelah dan wajahnya yang sembab, penampilan pria itu bahkan terlihat jauh lebih kacau darinya.

"Masuk."

Ucap wanita itu singkat dengan tatapan dinginnya.

~~~

Sajak Tentang Memaafkan [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang