Jeffry membuka pintu kamar dan yang ia dapati pertama kali adalah sosok sang istri yang disibukkan dengan pekerjaannya membersihkan ruang tengah. Menyadari kehadirannya, wanita itu pun menghentikan kegiatannya dan menoleh.
"Kamu uda bangun?"
"Iya."
"Ini uda siang. Cepet siap-siap ke kantor habis itu langsung makan. Aku uda bikinin sarapan."
Ucap Jemima melanjutkan pekerjaannya. Sementara Jeffry masih terdiam di posisinya. Netranya mengikuti setiap langkah sang istri hingga wanita itu kembali mengalihkan pandangannya.
"Kok masih disitu?"
"Je-"
Suara tangisan Kayla membuat keduanya sontak bergegas menghampiri putri kecil mereka yang rupanya sudah terbangun dari tidurnya. Dengan sigap Jemima menggendong gadis kecil itu dan berusaha menenangkan.
"Sana kamu mandi aja. Kayla biar sama aku."
Ucap wanita itu berjalan keluar dari kamar sementara Jeffry hanya mengangguk mengiyakan. Menatap dalam diam punggung istrinya yang perlahan menghilang di balik pintu kamar. Terdengar ia menghela nafas pelan dan kembali duduk di tepi ranjang.
Terhitung sudah dua minggu semenjak pembicaraannya dengan Jemima malam itu. Ketika wanita itu memutuskan untuk melupakan kesalahannya dan memilih untuk bertahan karena puteri kecil mereka. Sejak saat itu pula perlakuan Jemima kembali seperti semula. Memperlakukannya dengan baik seolah tak pernah terjadi apapun diantara mereka.
Namun hal tersebut nampaknya tak membuat baik Jeffry maupun Jemima baik-baik saja. Pria itu tau jika wanita yang telah ia nikahi bertahun-tahun itu hanya sedang bersandiwara. Berusaha agar terlihat baik-baik saja walaupun kenyataannya tak begitu. Sebuah suara notifikasi pesan yang masuk melalui ponsel pria itu membuatnya lagi-lagi menghela nafas gusar.
-
Sedari tadi Tian tak melepas pandangan dari rekan kerja sekaligus sahabatnya sejak duduk di bangku SMA. Berbanding terbalik dengan sikapnya beberapa minggu yang lalu, akhir-akhir ini Jemima terlihat bersemangat. Terlalu bersemangat hingga membuat pria itu merasa terganggu.
Setelah terdiam cukup lama, ia akhirnya bangkit dan berjalan mendekat. Tepukan pelan di bahu membuat Jemima yang tengah sibuk mengetikkan sesuatu pada laptopnya lantas menoleh. Melepas earphone yang melekat di telinganya dan memandang Tian.
"Kenapa mas?"
"Kita bicara."
"Yaudah bicara aja."
"Nggak disini."
Ujar pria itu mengalihkan perhatiannya pada Alin dan Windy serta beberapa orang yang berada di ruangan. Mengerti dengan maksud Tian, Jemima mengangguk mengerti dan segera bangkit mengikuti langkah pria itu.
"Ada apa?"
Tanya Jemima ketika keduanya telah berada di taman depan kantornya. Membuat langkah pria itu terhenti dan berbalik memandang sahabatnya penuh selidik.
"Sekarang cerita sama aku."
"Tentang?"
"Masalah kamu."
"Aku gak punya masalah apapun mas."
"Je, i know you very well. Aku terlalu tau sama sifat kamu. Hal sekecil apapun aku pasti tau kalo kamu sembunyiin."
Perlahan senyum di bibir wanita itu memudar. Seperti yang di harapkan dari seorang Sebastian Aditya. Pria yang lebih mengenalnya dibanding ayah dan juga kakaknya. Tak ada apapun yang tak pria itu ketahui. Jemima kembali tersenyum dan menggeleng pelan.
"Sotoy kamu mas. Aku lagi gak ada masalah kok."
"Dan mata kamu berkata lain."
"Mas.."
"Oke Je. Gak masalah kalo kamu gak mau cerita. Aku gak akan maksa. Tapi kalo kamu ngerasa uda gak bisa mendem masalah itu lagi, kamu boleh cerita ke aku. Semuanya."
Mendengar perkataan Tian, Jemima menggigit bibir bawahnya dan tertunduk. Menahan lengan Tian ketika pria itu hendak kembali. Sepasang matanya menatap dalam pada pria di hadapannya. Dan Tian tau jika sahabatnya itu sudah siap untuk mencurahkan keluh kesahnya.
Perlahan buliran bening itu mendarat begitu saja di pelupuk mata Jemima. Entah sudah berapa lama wanita itu mencoba agar tak menumpahkannya di hadapan Tian. Namun akhirnya ia gagal. Perlahan ia jatuh berlutut dan menutup wajah dengan kedua telapak tangan, berusaha meredam tangisnya.
Tian menyamakan posisinya dengan Jemima dan membantu wanita itu bangkit. Membawanya menuju salah satu bangku taman dan mendudukkannya. Saat itu juga Jemima mulai menceritakan semua permasalahan yang selama ini ia pendam sendiri. Dan selama itu pula nampak jelas gurat kemarahan di wajah Tian. Rahangnya mengeras dan kedua tangannya yang mengepal kuat.
"Emang br*ngsek si Jeff!"
Maki pria itu begitu Jemima selesai dengan ceritanya.
"Dan kamu masih mau nerima dia? Kamu sehat Je?"
Jemima menghapus sisa-sisa air mata yang membasahi wajahnya. Menghirup nafas dalam dan menghembuskannya.
"Gak segampang itu mas. Ada Kayla diantara hubungan kami. Aku tau banget rasanya tumbuh hanya dengan satu orang tua. Dan aku gak ingin anakku mengukir sejarah yang sama."
"Dengan mengorbankan perasaan kamu?"
"Jika memang harus."
"Apa kamu masih cinta sama dia?"
"Apa menurut kamu tujuh tahun kami akan musnah hanya dalam satu malam?"
"Walau mungkin kamu uda bukan prioritasnya?"
"Selama Kayla masih jadi prioritas, aku gak masalah dengan itu."
Terdengar Tian kembali menghela nafas. Sepasang netranya yang memerah memandang Jemima yang kini tertunduk. Wanita itu kembali terisak.
"Walau berulang kali bayangan mereka ada main di belakangku selalu muncul dan sukses menghancurkan aku. Aku selalu jadikan Kayla sebagai alasan untuk bertahan. Berulang kali aku yakinkan diri aku kalo ini semua bukan apa-apa. Aku yakin bisa memaafkan mereka."
"Je.."
"Tapi ternyata memaafkan gak sesederhana itu. Semakin ingin aku untuk memperbaiki semuanya, semakin hancur aku karenanya."
Tanpa sepatah kata, Tian menarik Jemima ke dalam dekapannya. Memberi tepukan-tepukan ringan di punggung wanita itu. Membiarkan Jemima mengangis dan menumpahkan keluh kesah dalam pelukannya. Keduanya tak menyadari jika Jeffry tengah mencuri dengar pembicaraan mereka. Terdengar helaan nafas pelan pria itu yang kini tertunduk.
-
Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam dan Jemima baru saja tiba di rumahnya. Wanita itu melangkah masuk dan menyalakan lampu yang di sambut dengan Jeffry yang baru saja keluar dari kamar.
"Kayla?"
"Baru aja tidur."
Sahut pria yang kini mendekat. Perlahan meraih salah satu tangan Jemima dan mengusapnya lembut. Membuat wanita itu memandangnya bingung. Jeffry menuntunnya menuju sofa dan mendudukkannya.
Dilihatnya sang suami memainkan jemarinya dan sesekali menghela nafas pelan sebelum akhirnya ia kembali menatapnya. Hal yang membuat Jemima memiliki perasaan tak nyaman.
"Je."
"Kenapa?"
"Ayo kita cerai."
~~~
KAMU SEDANG MEMBACA
Sajak Tentang Memaafkan [END]
Fanfic{FANFICTION} Dulu bagi Jemima, seorang Jeffry Alvaro adalah pria paling bertanggung jawab yang ia junjung tinggi. Pria itu adalah sebaik-baiknya tulang punggung yang tuhan takdirkan untuknya. Begitu pula bagi Jeff. Wanita yang biasa ia panggil Jeje...