39 : Pengakuan Yang Tertahan

658 96 7
                                    

Jangan lupa vote + komen

***

Nadia melangkahkan kakinya terburu-buru. Dengan menyeka air matanya ia menghampiri empat orang yang kini terduduk di depan ruang operasi. Mendengar suara langkahnya, sontak keempat orang itu beralih menatapnya. Beragam tatapan berbeda dapat ia lihat jelas saat ini. Tatapan kebencian, tatapan iba, tatapan bingung, dan juga tatapan yang biasa saja.

"Ngapain kamu kesini?"

Itu adalah suara dari ibu Jeffry yang terdengar ketus. Membuat wanita itu menghentikan langkahnya dan tertunduk sejenak. Jemima bangkit dari duduknya dan berjalan mendekati Nadia.

"Kamu datang Nad."

"Je, gimana keadaan Jeff?"

Tanya wanita itu dengan suaranya yang terdengar bergetar. Sementara Jemima menghela nafas dan menggeleng pelan.

"Aku gak tau. Operasinya masih berlangsung."

"Kamu gak denger apa yang saya bilang? Ngapain kamu kesini?!"

Ujar ibu Jeffry kali ini dengan intonasi yang lebih lantang dari sebelumnya.

"Tante.."

"Belum puas kamu hancurin hidup anak saya iya?"

"Buk."

Sang suami mencoba menenangkannya namun wanita paruh baya itu semakin meradang. Ia lantas bangkit dan menghampiri Nadia kemudian melayangkan tamparan di pipi wanita itu. Membuat semua orang yang berada disana menatapnya kaget.

"Buk!"

"Gara-gara kamu, hidup anak saya hancur. Dari dulu kamu selalu membawa kesialan buat Jeffry. Bahkan setelah anak saya nikah, kamu juga menghancurkan rumah tangganya. Kehancuran apa lagi yang akan kamu sebabkan nantinya? Belum cukup kamu menjadi beban untuknya?"

"Buk, kecelakaan ini gak ada sangkut pautnya sama Nadia."

Kali ini Jemima turut buka suara. Baru kali ini ia melihat mantan mertuanya itu meradang dan tak mampu berpikir secara logis.  Sementara Nadia hanya terdiam pada tempatnya dengan kepala tertunduk. Hingga pintu ruang operasi setidaknya dapat membuat atensi semua orang disana beralih pada seorang dokter yang baru saja melangkah keluar.

"Dok, bagaimana keadaan anak saya?"

Tanya ayah Jeffry yang kini diikuti oleh istrinya.

"Operasi berjalan sukses. Kami juga berhasil mengatasi pendarahan pada bagian otak pak Jeffry. Untuk saat ini kondisinya belum bisa dikatakan stabil. Karena itu kami perlu mengontrol keadaan pasien. Jadi sementara pasien akan berada di unit perawatan intensif bapak, ibu."

Penjelasan sang dokter membuat mereka menghela nafas lega.

"Terima kasih dok."

"Kalau begitu saya permisi."

Ujar pria itu bergegas pergi. Dan disaat yang sama, atensi ibu Jeffry kembali beralih pada Nadia. Tatapannya jelas memperlihatkan ketidaksukaannya akan kehadiran wanita itu. Tentu, Nadia cukup sadar diri. Untuk itu, tanpa mengucap sepatah kata pun ia beranjak pergi.

Menatap kepergian Nadia, Jemima menghela nafas pelan. Ia beralih menatap Tian dan seolah mengerti dengan arti tatapannya, pria itu pun mengangguk memberi izin.

Kemudian Jemima bergegas menyusul langkah Nadia dan disinilah mereka berada sekarang. Di salah satu taman rumah sakit dimana saat ini wanita itu hanya duduk dan tertunduk lesu.

"Nad, soal ibuk tadi.."

"Aku ngerti kok Je. Aku cukup ngerti. Jadi kamu gak perlu kasih aku penjelasan apapun."

"Tapi-"

"Kesalahanku emang gak bisa dimaafin gitu aja. Apa yang diucapkan tante emang bener kok. Memang aku penyebab kalian cerai. Dan aku juga yang menjauhkan Jeff dari keluarganya."

"Tapi ini gak sepenuhnya salah kamu Nad. Kalopun ada yang harus di usir tadi, orang itu adalah aku. Aku yang menyebabkan mas Jeff kecelakaan karena uda undang dia buat merayakan ulang tahun Rania. Aku juga yang seenaknya salah paham dan nuduh kalian selingkuh waktu itu."

"Je."

"Papa aku adalah penyebab dari semua kekacauan ini. Jadi kalaupun ibu harus marah, sudah sepantasnya aku yang jadi tempat pelampiasannya. Karena kesalahpahamanku, karena kebejatan papaku."

"Nggak Je. Ini bukan salah kamu."

"Nggak kok Nad. Ini emang salah aku."

Sanggah wanita itu tersenyum kecut.

"Mungkin aku kurang berbakti sama papa. Jadinya aku gak tau apa yang selama ini uda papa sembunyiin. Dan karena kekuranganku, aku akan memperbaiki semuanya."

"Maksud kamu?"

"Tolong tunggu sebentar lagi Nad. Saat itu aku akan pastikan kamu dan anak kamu mendapatkan haknya."

"Je, kamu gak perlu lakuin itu."

"Nad, mungkin sekarang bagi kamu semuanya sudah dan akan baik-baik aja. Tapi sebenernya nggak. Anak kamu Gio, kelak dia akan sangat membutuhkan sosok papanya. Sama seperti Rania yang selama ini gak pernah mempertanyakan keberadaan mas Jeff. Pada nyatanya anak aku menyimpan rapat-rapat kerinduannya pada sosok yang bahkan gak pernah dia temui. Jadi begitu sosok itu ada, anak aku seakan gak bisa lepas dari papanya. Dan mengetahui hal itu bener-bener bikin aku merasa bersalah."

Nadia kembali tertunduk. Walaupun ia menyembunyikan wajahnya, Jemima tau jika wanita itu tengah menangis kini. Maka yang bisa ia lakukan hanyalah mengusap punggung tangan Nadia dan mencoba memberinya kekuatan.

"Tolong tunggu sebentar lagi. Aku akan membuat papa bertanggung jawab."

"Makasih Je. Makasih banyak. Setelah apa yang uda aku lakuin ke kamu, kamu masih mau memikirkan anak aku."

Tangis Nadia pecah kini. Ia menghambur memeluk Jemima dan menangis sejadinya. Sementara wanita itu tersenyum tipis dan membalas pelukannya.

-

Jemima melangkahkan kakinya memasuki ruangan tempat Jeffry di rawat. Ada nyeri yang menghujam dada kala melihat pria yang begitu ia agungkan itu nampak tidak berdaya dengan beragam peralatan medis yang terpasang di tubuhnya. Pada nyatanya luka memar di beberapa bagian wajahnya tak bisa menutupi ketampanan pria itu.

Perlahan jemari Jemima bergerakan mengusap lembut punggung tangan Jeffry. Wanita itu duduk di samping ranjang dan menggenggam erat jemari mantan suaminya. Mencoba menahan buliran bening yang hendak terjatuh. Namun hanya sesaat hingga cairan bening itu lolos begitu saja dari kedua pelupuk matanya.

"Mas."

Panggilnya berharap Jeffry akan mendengar dan segera membuka mata. Dengan isakan yang tertahan, Jemima mengecup punggung tangan Jeffry dan menenggelamkan wajahnya mencoba meredam tangisannya disana.

Tangan ini, jemari ini, telah sangat lama ia tak menggenggamnya. Membuat kerinduannya semakin membuncah begitu ia menyadari debaran jantungnya yang tak mampu berdenting sesuai irama tiap kali ia bersentuhan dengan sosok yang kini terlelap dalam tidurnya itu.

"Bangun mas. Kamu harus bangun. Karena ada banyak hal yang harus kamu denger."

Ucap Jemima tersenyum tipis seraya menyeka air matanya.

~~~

Sajak Tentang Memaafkan [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang