41 : Adrenalin

728 96 5
                                    

Jangan lupa vote + komen.

***

"Je."

Panggil Jeffry untuk kesekian kalinya. Memandangi wanita yang sejak tadi enggan untuk menatapnya. Masih dengan posisi yang sama, berlutut dan menundukkan kepala. Terdengar helaan nafas pelan dari pria itu seraya berusaha untuk bangkit dari posisinya dengan bersusah payah. Menyadarinya, Jemima mendongak dan terbelalak. Ia lantas bangkit dan bergegas mendekat. Memegangi kedua pundak Jeffry dan menahannya.

"Kamu mau ngapain?"

Tanya wanita itu terdengar khawatir. Jeffry tersenyum tipis dan meraih kedua tangan Jemima. Mengisyaratkan wanita itu untuk duduk.

"Kamu kenapa?"

Tanyanya membuat Jemima kembali terdiam.

"Je?"

"Maafin aku."

"Untuk?"

"Semuanya."

"Emang kamu bikin salah apa? Kalo ini tentang kecelakaanku-"

"Papa yang menghalangi kamu untuk tau semua informasi tentang Kayla. Bahkan saat Kayla sakit pun papa masih bisa se egois itu. Sementara aku? Aku yang gak tau apa-apa malah makin benci sama kamu. Maafin aku mas. Aku... Aku.."

Jemima kembali menunduk, menggigit bibir bawahnya tak mampu untuk melanjutkan ucapannya. Isakannya kembali terdengar kala sepasang telapak tangan Jeffry membelai wajahnya. Perlahan, wanita itu kembali mendongak. Memberanikan diri menatap dalam pada sepasang manik mata pria di hadapannya.

Hatinya semakin mencelos kala Jeffry tersenyum hangat dan menatapnya begitu teduh. Tatapan dan senyuman itu, adalah pemandangan yang selalu ia dapati tiap kali meminta maaf pada Jeffry kala dirinya melakukan sebuah kesalahan.

"Kamu gak salah apa-apa. Jadi buat apa aku maafin kamu?"

"Mas."

Bukannya merasa lebih baik, tangis Jemima semakin pecah. Ia menghambur ke dalam pelukan sang mantan suami dan menangis sejadinya. Merasakan Jeffry membalas pelukannya dan mengusap lembut rambutnya.

"Maafin aku. Aku minta maaf mas. Aku gak pernah bisa ngertiin kamu. Harusnya aku gak percaya gitu aja dan menyimpulkan apapun waktu itu. Harusnya aku mau dengerin penjelasanmu. Harusnya-"

"Sstt.. Ini juga salahku. Jadi kamu jangan terlalu menyalahkan diri kamu sendiri."

Sanggahnya tersenyum di balik punggung Jemima. Cukup lama mereka berpelukan hingga tangis wanita itu tak lagi terdengar. Perlahan Jeffry melepas pelukannya dan memandangi wajah sembab mantan istrinya. Jemarinya bergerak menghapus sisa-sisa air mata di wajah wanita itu.

"Rania mana?"

"Di rumah mbak Alin. Aku minta tolong dia buat jagain anak kita."

Jeffry tersenyum mendengar kata 'anak kita' yang terlontar dari bibir Jemima. Dua kata yang begitu ia sukai akhir-akhir ini.

"Dia pasti kecewa ya karena aku gak bisa dateng."

"Nggak. Rania pasti ngerti kok. Aku uda bilang kalo kamu lagi sakit jadi gak bisa ketemu selama beberapa hari."

"Aku kangen Rania Je."

"Kamu mau ketemu sekarang?"

"Pengennya sih gitu."

"Ya udah bentar aku telfon mbak Alin dulu."

Jeffry menahan pergerakan Jemima membuat wanita itu menatapnya bingung.

"Kenapa?"

"Aku gak mau Rania ngeliat aku kayak gini."

Jemima terdiam sejenak. Memperhatikan keadaan Jeffry dengan perban yang melilit kepalanya dan beberapa luka yang ia dapati di beberapa bagian tubuhnya. Wanita itu pun mengangguk mengerti.

"Mas."

"Hm?"

"Ada yang mau aku omongin."

"Tentang?"

"Aku gak mau ngomongin itu sekarang. Terlebih di tempat ini. Nanti, saat kesehatan kamu uda membaik."

Sahut wanita itu tersenyum tipis. Mengerti dengan arah pembicaraan Jemima, Jeffry turut tersenyum dan mengangguk setuju.

"Mas uda makan?"

"Uda barusan."

"Kalo gitu istirahat lagi aja ya."

"Aku gak bisa tidur."

"Kenapa?"

"Aku uda banyak tidur kemarin Je."

"Kalo gitu aku kupasin buah aja gimana?"

Jeffry mengangguk mengiyakan membuat Jemima kembali tersenyum. Ia membantu pria itu untuk kembali merebahkan dirinya kemudian meraih remote yang mengontrol ranjang rumah sakit dan mengatur ketinggian ranjangnya untuk membuat Jeffry merasa lebih nyaman.

Wanita itu pun beranjak dari duduknya dan berjalan menuju kulkas. Mengambil beberapa buah-buahan untuk ia kupas. Tak menyadari jika sedari tadi Jeffry memperhatikan tiap gerak geriknya dengan senyum yang kian mengembang.

-

"Gimana keadaannya sekarang?"

"Uda membaik mbak. Uda bisa duduk juga. Sekarang mas Jeff lagi tidur. Kata dokter sih gak ada masalah apa-apa. Kalau keadaannya terus membaik, tiga hari lagi juga uda bisa pulang."

"Syukurlah kalo gitu. Kamu masih di rumah sakit?"

"Iya mbak. Kenapa?"

"Rania nyariin kamu dari tadi. Tapi sekarang uda tidur sih anaknya."

Jemima meringis mendengar ucapan Alin. Ia baru menyadari jika waktu kebersamaannya dengan sang buah hati jadi berkurang karena sebagian waktunya ia habiskan di rumah sakit untuk menemani Jeffry.

"Bentar lagi aku pulang mbak. Makasih ya uda jagain Rania."

"Gak masalah Je. Toh aku juga sering nitipin Billy sama Ciara ke kamu. Mbak tutup telfonnya dulu ya Je. Mau lanjut masak."

"Iya mbak."

Sahut Jemima sebelum sambungan telfon mereka berakhir. Pandangan wanita itu beralih pada Jeffry yang nampak damai dalam tidurnya. Ia melangkah mendekat dan memandangi sosok itu lebih lekat. Tampan. Bahkan luka di wajahnya tak menutupi ketampanannya. Mantan suaminya itu memang selalu tampan dalam keadaan apapun.

Hal yang dulunya selalu membuat Jemima uring-uringan karena ketampanan Jeffry yang mampu membuat wanita lain berdecak kagum karenanya. Mengingat betapa mudahnya ia cemburu kala mendengar pujian-pujian yang di sematkan pada suaminya saat itu membuat Jemima tersenyum geli. Bahkan Jeffry yang tak tau apa-apa menjadi sasaran amukan karena kecemburuannya dahulu.

Perlahan jemarinya bergerak dan mengusap lembut rahang milik pria itu. Bahkan meski tengah tertidur, hanya bersentuhan dengannya mampu membuat ritme jantung Jemima berdetak tak karuan. Selalu tak berubah. Sensasi adrenalin ini, ia sangat menyukainya.

~~~

Sajak Tentang Memaafkan [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang