29 : Ayah dan Anak

784 92 3
                                    

Hari demi hari berlalu, kedekatan Jeffry dan Rania pun semakin intens. Seperti saat ini misalnya. Pria itu mengajak puterinya pergi bermain sepulang sekolah. Tentunya hal ini dengan sepengetahuan Jemima. Ya, wanita itu memutuskan untuk tak lagi menghalangi pertemuan keduanya. Karena yang ada di pikiran Jemima kebahagiaan Rania adalah yang terpenting baginya.

Tentunya seiring dengan kedekatan antara kedua ayah dan anak itu, kemarahan serta rasa sakit Jemima terhadap Jeffry dapat sedikit mereda. Walaupun enggan untuk berbicara dengan pria itu, kini ia tak lagi menumpahkan sumpah serapahnya walau kekecewaan masih amat besar ia rasakan.

"Loh kok udahan?"

Tanya Jeffry mengerutkan keningnya melihat Rania turun dari mainan kuda yang ia naiki. Pria itu membungkuk menyamakan posisinya dengan gadis mungilnya. Yang mendapat pertanyaan pun hanya menggeleng pelan dan mengarahkan pandangan pada wahana permainan bola.

"Rania mau main itu?"

Tanya pria itu sekali lagi yang diangguki cepat oleh Rania. Jeffry tersenyum dan mengangguk mengerti. Mengulurkan tangannya pada gadis mungil itu. Ia kembali tersenyum begitu Rania menerima uluran tangannya.

 Ia kembali tersenyum begitu Rania menerima uluran tangannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

(Cr : Pinterest)

Sementara itu Jemima tersenyum melihat bayi dalam gendongannya. Untuk kesekian kalinya ia melayangkan kecupan di wajah bayi berjenis kelamin laki-laki itu.

"Rania mana Je? Kok gak kamu ajak?"

Tanya Windy, sang ibu dari bayi dalam gendongan Jemima.

"Lagi jalan sama papanya."

Sahut Jemima sembari meletakkan kembali bayi Windy ke dalam baby box.

"Kamu uda gak apa-apa?"

"Uda kok mbak. Uda mendingan aku."

"Aku gak nanya soal asam lambungmu."

"Terus?"

"Soal papanya anak-anak."

Tepukan ringan yang Jemima layangkan pada bayi itu terhenti begitu mendengar perkataan Windy. Ia lantas menoleh dan mengangguk pelan sebagai jawaban.

"Mas Jeff juga punya hak buat ketemu Rania. Dan Rania juga lengket banget sama papanya. Jadi gak mungkin aku ngelarang mereka buat ketemu terus."

"Iya juga sih. Oh iya, Tian kemana? Kok gak bareng kamu?"

"Mas Tian lagi ada job lain."

"Sok sibuk banget itu orang."

Desis Windy membuat Jemima terkekeh. Keduanya pun mulai larut dalam pembicaraan mereka mengenai banyak hal.

-

Nadia memasuki sebuah cafe dan mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan hingga netranya mendapati sosok yang mengajaknya untuk bertemu. Wanita itu pun melanjutkan langkahnya dan kini terduduk di hadapan Malik tanpa berkata apapun.

"Ada apa om mau ketemu saya?"

"Perempuan licik. Apa yang sudah kamu katakan sama anak saya sampe Jemima gak mau bicara sama saya?"

Seulas senyum tersungging di bibir Nadia. Wanita itu melepas kacamata yang bertengger di hidungnya dan menatap pria paruh baya di hadapannya.

"Memangnya apa lagi yang bisa saya katakan sama Jemima?"

"Saya uda rutin ngirim nafkah buat anak kamu itu. Kenapa kamu masih saja kembali dan ngeganggu ketentraman keluarga saya?"

"Gini om, nafkah yang om kirimkan itu emang uda jadi kewajiban om karena Gio adalah anak om. Saya gak pernah make uang itu untuk keperluan saya. Masalah saya kembali atau nggak ya itu hak saya. Lagian saya gak pernah janji kalo saya akan rahasiain ini dari anak om."

"Nadia!"

"Empat tahun. Empat tahun sudah berlalu dan gak ada perubahan sama sekali."

"Apa maksud kamu?"

"Saya pikir seenggaknya om akan menyesal setelah apa yang uda terjadi sama Jemima. Ternyata saya salah. Om masih sibuk nyari kesalahan orang lain untuk menutupi kesalahan om sendiri."

Wanita itu pun bangkit dan memakai kembali kacamatanya.

"Makasih om. Karena memilih untuk tidak pernah menampakkan diri di hadapan Gio. Setidaknya anak saya gak perlu tau seperti apa sifat ayahnya."

Lanjutnya sebelum ia berlalu pergi meninggalkan Malik yang terlihat menahan amarah.

-

Jemima berjalan mondar mandir di ruang tengah. Sesekali netranya melihat ke arah jam dinding yang sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Tidak biasanya Jeffry masih membawa puterinya itu hingga malam. Biasanya ia akan mengantar Rania pada sore hari. Namun ini bahkan sudah malam dan tidak ada tanda-tanda jika Rania akan segera pulang.

Wanita itu meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja. Membuka aplikasi WhatsApp dan membuka kontak milik sang mantan suami. Berulang kali ia mengetikkan sesuatu namun kembali di hapusnya. Nampak ragu dan memikirkan kalimat seperti apa yang harus wanita itu kirimkan pada Jeffry. Hingga suara deru mesin mobil yang berhenti tepat di depan rumahnya membuat Jemima lantas menoleh.

Dengan tergesa-gesa wanita itu pun keluar dari rumahnya dan bergegas membuka pagar. Jemima menghela nafas lega begitu mobil milik Jeffry yang kini terparkir disana. Tak lama pria itu pun bergegas keluar dengan Rania dalam gendongannya.

"Mama."

Panggil Rania dengan intonasinya yang terdengar ceria. Membuat kekhawatiran Jemima musnah dan berganti senyuman yang menghiasi wajah cantiknya. Wanita itu pun berjalan mendekat dan mengambil alih puterinya dari gendongan sang papa.

"Maaf pulangnya kemaleman. Rania gak mau di ajak pulang tadi."

Ujar Jeffry kikuk seraya mengusap tengkuknya sementara Jemima hanya mengangguk pelan.

"Kalo gitu aku pamit pulang."

Pamitnya seraya berbalik dan hendak kembali ke mobil. Namun panggilan Jemima membuat langkah pria itu terhenti. Jeffry menoleh dan memandang mantan istrinya yang kini berdehem pelan.

"Sebelum pulang, makan malam dulu disini."

Ujar Jemima kemudian melangkahkan kakinya kembali ke dalam rumah. Membiarkan pagar rumahnya terbuka, meninggalkan Jeffry yang kini terdiam dengan tatapan bingungnya. Mencoba mencerna kalimat yang baru saja terucap dari bibir wanita itu. Tak lama seulas senyum tampan terlukis di wajahnya.

~~~

Sajak Tentang Memaafkan [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang