20 : Sesal Yang Terlambat

974 104 17
                                    

"Uda telat."

Sebuah suara yang sangat familiar menyapa indera pendengarannya. Perlahan Jeffry menoleh keasal suara dan mendapati Jemima yang kini memandangnya geram. Seolah siap menumpahkan amarahnya. Dan pria itu pun nampaknya sudah siap dengan sumpah serapah yang akan mantan istrinya itu layangkan kepadanya.

Jemima melangkah mendekat begitu juga dengan Jeffry yang perlahan bangkit. Memandang sendu pada sosok yang kini berdiri tepat di hadapannya.

"Dongeng buat Kayla? Ngapain kamu ngedongengin anak yang bahkan uda gak bisa denger suara kamu?"

"Je."

"Buat apa bawa boneka kesukaan Kayla? Dia bahkan uda gak bisa mainin bonekanya."

Pria itu tertunduk kini. Buliran bening yang terhenti beberapa saat lalu kini kembali jatuh dari pelupuk matanya. Sementara Jemima, wanita itu bahkan terlihat lebih hancur darinya. Bayang-bayang kepergian puteri sulungnya itu kembali terngiang di kepalanya.

"Harusnya kamu lakuin itu tiga tahun yang lalu. BUKAN SEKARANG!"

Teriaknya mengisi kesunyian makam sore itu. Dengan tangisnya yang tak mampu terbendung, Jemima mendorong kasar tubuh mantan suaminya hingga membuatnya nyaris terjatuh.

"Kemana kamu waktu Kayla nangis-nangis nyariin kamu? KEMANA KAMU!? Waktu Kayla ngerengek karena sakit di kepalanya? Kamu nggak pernah ada disaat paling penting dalam hidup anak aku. Disaat Kayla butuh papanya, kamu nggak ada disana."

Rentetan makian yang wanita itu layangkan berhasil membuat Jeffry terisak. Perlahan ia kembali jatuh berlutut. Meraung dalam tangisnya, bersujud di hadapan Jemima layaknya sedang memohon ampunan.

"Uda gak ada gunanya lagi. Kedatangan kamu sekarang uda gak berarti apa-apa. Karena anak aku gak akan bisa hidup lagi. Dan kamu yang uda ngebunuh anak aku. Kamu membunuh masa kecilnya. Dan kamu juga ngebunuh jiwanya."

Ucap Jemima sebelum ia berlalu meninggalkan Jeffry dengan tangisnya yang kian menjadi.

"Kok cuma bentar?"

Tian yang baru saja keluar dari mobilnya mengernyit heran begitu melihat Jemima yang segera kembali bahkan tak sampai sepuluh menit dari mereka berpisah. Lagi. Seperti de javu, ia kembali diperlihatkan dengan sosok yang kini terlihat menahan tangis. Tidak. Lebih tepatnya baru saja menangis.

Mungkin kehilangan akan buah hatinya masih membekas dalam benak seorang Jemima. Setidaknya itulah yang ada di pikiran Tian saat ini. Sehingga membuatnya enggan untuk bertanya lebih jauh dan hanya membawa wanita itu ke dalam pelukannya. Mendekap dan membiarkannya menangis dalam diam.

-

"Mbak."

"Hm?"

"Mbak mbak."

Alin menghela nafas pelan mendengar panggilan Windy yang seolah tak ada habisnya. Sejak tadi rekannya hanya memanggilnya tanpa mengatakan apapun. Membuat ibu dua anak itu memutuskan untuk menghentikan pekerjaannya sejenak dan beralih menatap wanita yang sedari tadi menyenggol sikunya.

"Tian sama Jemima kenapa?"

"Kenapa lagi mereka?"

"Itu jauh-jauhan."

"Ya kan lagi ada kerjaan masing-masing."

"Vibe-nya beda mbak. Dari tadi pagi loh mereka gak banyak ngomong."

"Yaudah sih. Kalo emang ada masalah bisa mereka selesain baik-baik. Uda pada dewasa ini."

"Tapi mbak-"

"Win, mending kamu hubungin klien kita deh buat rapat nanti sore. Dari pada merhatiin mereka. Dan lagi dari tadi gak capek apa berdiri terus? Hamil gede gini harusnya banyakan istirahat dari pada mikirin hal gak perlu."

Celoteh Alin pada akhirnya membuat Windy mencebik. Wanita itu pun memilih untuk kembali ke tempat duduknya. Lain halnya dengan Alin yang kini beralih menatap Jemima yang memang sejak tadi bersikap aneh. Melihat sikap adik iparnya itu pun membuat ia kembali menghela nafas pelan.

Sementara itu Tian yang terlihat sibuk dengan pekerjaannya pada nyatanya tak sepenuhnya fokus. Sedari tadi ia mencuri pandang pada Jemima. Semenjak mengunjungi makam sang anak, wanita itu menjadi tak banyak bicara.

Tak seperti tahun-tahun sebelumnya ketika datang berkunjung ke makam, biasanya Jemima akan terlihat baik-baik saja walau sorot kesedihan masih terlihat dari sepasang netranya. Namun kali ini tak begitu. Seolah lukanya kembali menganga, begitulah penampakan Jemima di matanya saat ini.

Tak ingin berlarut-larut dalam pemikirannya, pria itu pun bangkit dan berjalan mendekat. Menyadari kehadiran seseorang di sampingnya, Jemima yang sedari tadi hanya menatap kosong pada tampilan layar komputernya itu pun mendongak.

"Mau ngopi gak?"

Ajak pria itu yang hanya diangguki setuju olehnya.

-

"Kopi disini emang paling cocok sama seleraku."

Puji Tian ketika ia menyeruput sedikit minumannya sementara Jemima hanya tersenyum tipis menanggapi ucapan sahabatnya. Jemari yang tergerak mengusap lembut punggung tangannya membuat wanita itu sontak membalas tatapan pria di hadapannya.

"Kamu ada masalah?"

Pertanyaan yang Tian lontarkan membuat Jemima terdiam sejenak hingga akhirnya ia tersenyum masam dan tertunduk. Seperti yang di sudah-sudah, ia tak pernah berhasil menyembunyikan apapun dari pria itu.

"Je-"

"Aku ketemu papanya Kayla. Di makam."

Sahutnya membuat sepasang netra pria itu membulat sempurna. Seakan turut merasakan kemarahan Jemima, rahangnya mengeras kini.

"Dia uda balik?"

Jemima mengangguk pelan seraya menghela nafas.

"Dia nangis dan menyesali semua keputusannya waktu itu. Tapi seperti yang mas tau, itu semua uda gak ada gunanya. Kayla aku gak akan pernah balik lagi."

"Je.."

"Aku pikir semuanya uda baik-baik aja. Aku pikir aku uda bisa mengikhlaskan kepergian anak aku dan berdamai dengan takdir. Tapi ternyata nggak. Saat aku ngeliat dia nangis kayak gitu, rasa sakit itu muncul lagi mas. Kemarahanku, rasa kekecewaanku, dendamku, semuanya. Aku gak akan pernah bisa maafin dia."

Tangis wanita itu pada akhirnya. Menutupi wajah dengan kedua telapak tangan, menahan isakan yang terdengar begitu pilu. Perlahan Tian bangkit dan berpindah posisi duduk tepat di sebelah Jemima. Merangkul dan menariknya ke dalam pelukan, membiarkan wanita itu menangis sejadinya dalam dekapan. Untuk yang kesekian kalinya.

Sementara itu di lain tempat, Jeffry berdiri di depan pintu gerbang sebuah PAUD. Tatapannya begitu sendu kala netranya menangkap sosok gadis mungil yang terlihat manis dengan rambutnya yang di kepang dua berjalan keluar dari ruangan. Senyum pria itu terlukis begitu melihat Rania, anak yang ia ketahui sebagai puteri bungsunya itu tengah tertawa karena melihat tingkah teman-temannya.

Cukup lama ia berdiri disana, dengan tatapan teduhnya memperhatikan setiap gerak gerik dan langkah kecil Rania. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk pergi setelah gadis kecil itu kembali masuk ke ruangannya.

~~~

Sajak Tentang Memaafkan [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang