28 : Hancur

857 98 12
                                    

"Je."

Cukup lama keduanya hanya diam dan saling memandang dalam keheningan sore itu. Hingga akhirnya Jeffry memutuskan untuk melangkahkan kakinya melewati Jemima begitu saja. Namun suara helaan nafas panjang yang keluar dari bibir wanita itu membuat langkahnya terhenti.

"Kamu gak pernah berubah. Dari dulu sampe sekarang."

Ujar Jemima seraya berbalik menatap pria yang hanya bisa terdiam memandangnya.

"Gak pernah mencoba untuk menjelaskan apapun."

"Je."

"Aku emang gak sepenting itu ya buat kamu?"

"Bukan gitu."

"Terus apa?"

Perlahan Jemima melangkahkan kakinya mendekati pria yang kini tertunduk. Dengan sepasang netranya yang memerah, wanita itu menatap lekat sosok Jeffry yang begitu ia rindukan selama ini. Tanpa bisa ia pungkiri.

"Dengan pemikiran bahwa semua yang kamu lakuin adalah untuk kebaikanku, kamu uda hancurin semuanya. Kepercayaanku, kebahagiaan keluarga kita, dan masa depan anak-anak kita."

"Maafin aku."

"Hah.. Maaf? Permintaan maaf selalu jadi kata-kata andalan kamu."

Tak ada lagi yang bisa pria itu katakan. Ia hanya memandang dalam pada sepasang iris mata sang mantan istri.

"Aku bahkan memohon saat itu. Aku bilang kalo aku bakal ngelupain permasalahan kita dan tetap pertahanin kamu. Tapi kenapa kamu malah pergi? Kenapa kamu harus nurutin semua perkataan papa aku? Kenapa!!"

Ujarnya dengan nada yang mulai meninggi. Mencengkram kuat kerah pakaian pria itu. Saat ini tangisnya bahkan tak mampu lagi ia bendung.

"Kamu bodoh mas. Keputusan yang kamu pilih pada akhirnya cuma bikin aku makin hancur."

"Je."

"Kamu tinggalin aku sama anak-anak. Memutus hubungan gitu aja tanpa tau Kayla nungguin kamu dalam sakitnya. Sedangkan Rania harus terlahir tanpa pernah tau siapa papanya. Kamu bikin aku ngebenci kamu selama bertahun-tahun tanpa tau kebenarannya. Sekarang setelah semuanya jelas, kamu bikin aku ngerasa kalo aku yang paling jahat disini. Iya aku yang jahat! Salahku karena semudah itu menyimpulkan sesuatu yang bahkan belum jelas."

"Nggak Je. Kamu gak salah apa-apa. Aku yang salah karena gak pernah jujur sejak awal. Aku yang salah karena berpikir kalo keputusan yang aku ambil emang yang terbaik buat kita semua."

Jelas Jeffry seraya memegangi kedua pundak wanita itu. Sementara Jemima tertawa hambar dan perlahan melepas cengkramannya.

"Terbaik? Pada akhirnya dalam setiap keputusan yang kamu ambil, kamu gak pernah memprioritaskan aku dalam pilihanmu."

Ujar wanita itu menepis pegangan Jeffry dan menyeka buliran bening yang kini membasahi pipinya. Menarik nafas panjang kemudian menghembuskannya perlahan.

"Sekarang setelah tau semuanya, kebencianku sama kamu malah makin besar. Aku gak bisa maafin kamu mas. Gak akan pernah bisa."

Putus Jemima sebelum akhirnya berlalu meninggalkan Jeffry yang perlahan jatuh berlutut. Meremas dadanya yang terasa sesak dan menahan isakannya agar tak lagi terdengar. Pada akhirnya hanyalah rasa sesal yang tak pernah hilang itu kembali meliputi jiwa raganya saat ini.

-

Sultan berjalan memasuki rumah Malik. Menghampiri pria paruh baya itu yang tengah sibuk membaca buku di ruang utama. Menyadari kehadiran anak sulungnya, Maling lantas menutup lembar buku yang di bacanya kemudian melepas kacamata yang bertengger di hidungnya.

"Mana Alin?"

"Lagi nidurin Ciara."

Sahutnya menyebut nama puteri bungsunya seraya duduk tepat di hadapan sang papa. Lama ia memandangi pria paruh baya itu hingga akhirnya menghela nafas pelan.

"Pa."

Panggil pria itu melihat bagaimana Malik hanya bereaksi dengan deheman.

"Apa gak sebaiknya papa datang ke rumah orang tua Jeffry buat minta maaf?"

Ucapan yang terlontar dari bibir Sultan membuat Malik mengerutkan keningnya dan memandang anaknya itu tak suka.

"Apa maksud kamu?"

"Apa yang uda papa lakuin itu salah. Dan sudah seharusnya papa minta maaf."

"Apa kamu lagi menggurui papa sekarang?"

"Bukan gitu pa. Tapi.."

Terdengar pria itu kembali menghela nafas pelan.

"Korban yang sesungguhnya disini adalah Jeffry. Nggak, lebih tepatnya kedua orang tuanya. Tanpa tau apa-apa, selama ini mereka menahan malu karena berpikir anaknya uda melakukan perzinahan. Beranggapan kalo anak mereka uda melakukan kesalahan besar. Tapi nyatanya kan gak seperti itu pa."

"Sultan Wibowo!"

Mendengar namanya di sebut dengan lengkap, Sultan memejamkan matanya sejenak. Pria itu amat tau jika papanya sudah memanggilnya seperti itu, tandanya amarahnya sudah siap meledak kini. Dilihatnya Malik bangkit dan menatap dingin kearahnya.

"Semuanya uda jadi masa lalu. Masa lalu yang gak perlu di ungkit lagi. Lagi pula kalo papa minta maaf, apa itu bakal merubah semuanya? Nggak kan? Adik kamu sama Jeffry gak akan pernah bersama lagi."

"Pa?"

Sultan mendongak menatap tak percaya pada pria paruh baya di hadapannya. Ia mulai bangkit dan berjalan mendekat.

"Minta maaf bukan berarti bisa memperbaiki sesuatu yang udah hancur. Tapi itu menandakan kalau papa emang merasa bersalah."

"Cukup Sultan. Papa gak salah apa-apa. Ini semua karena ulah cewek itu. Kalo aja dia gak pernah ngomong sama Jeffry, semuanya gak akan rumit seperti sekarang."

"Papa!"

"Sebaiknya kamu pulang. Ini sudah malam, kasian isteri kamu kalo sendiri di rumah."

Putus Malik dan bergegas meninggalkan Sultan yang kini kembali duduk. Menghela nafas panjang dan mengusap wajahnya gusar.

-

'Je, kamu gak usah ke kantor. Langsung ke rumah sakit aja ya. Windy mau lahiran.'

Adalah sebaris pesan yang di kirimkan oleh kakak iparnya. Dengan senyum yang terlukis di bibir wanita itu, Jemima lantas meletakkan ponselnya ke atas dassboard dan bergegas keluar kemudian membukakan pintu mobil untuk puterinya.

"Sayang jangan nakal ya. Nanti om Tian yang jemput."

"Mama au mana?"

"Mama mau jenguk aunty Windy dulu. Dedeknya aunty mau keluar."

Sepasang mata bulat Rania semakin melebar kini. Berseru bahagia mendengar berita yang menyenangkan baginya. Mengingat bagaimana Rania sangat antusias menunggu kehadiran anggota baru dalam circle pertemanannya.

Melihat raut ceria puterinya itu, Jemima mengusap lembut puncak kepala Rania kemudian mengecup keningnya.

"Rania masuk gih. Uda di tungguin sama bu Tiwi."

"Dadah mama. Ania cekoyah duyu yah."

Jemima kembali tersenyum dan mengangguk kemudian melambaikan tangannya pada Rania sebelum gadis kecilnya itu menghilang dari balik pintu kelas. Dengan senyum yang menghiasi wajahnya, wanita itu pun kembali ke dalam mobil dan mulai menancap gas meninggalkan halaman PAUD tempat puterinya bersekolah.

Sementara itu, sosok yang sedari tadi berada dalam persembunyiannya pun perlahan menampakkan diri. Jeffry, memperhatikan mobil sang mantan istri yang kini semakin menjauh sebelum akhirnya netranya beralih menatap sosok Rania yang terlihat dari kaca jendela kelasnya. Pria itu pun tersenyum tampan menampilkan sepasang lesung pipi manisnya.

~~~

Sajak Tentang Memaafkan [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang