Hari demi hari berjalan biasa saja. Namun tidak bagi Jemima yang semakin menaruh curiga. Terhitung setidaknya sudah tiga kali pria itu tertangkap basah tengah membohonginya.
Rumah tangga yang biasanya terasa begitu hangat dan harmonis, kini bagaikan sebuah cangkang kosong. Seolah keromantisan yang mereka tunjukkan hanyalah sebuah sandiwara yang sengaja mereka tampilkan hanya untuk mempertahankan apa yang seharusnya di pertahankan.
Sebuah tepukan pelan di bahu Jemima membuat wanita itu sontak menoleh dan mendapati Tian yang menatapnya khawatir.
"You okay?"
Seakan mengerti permasalahannya, Sebastian Aditya selalu begitu. Pria yang sudah ia kenal sejak duduk di bangku SMA itu sudah seperti kakak kedua baginya. Tempat dimana ia bebas mencurahkan seluruh isi hatinya. Namun untuk permasalahan kali ini, Jemima tak ingin menceritakannya pada siapapun.
"Je?"
"Aku gak apa kok mas."
Terdengar pria itu menghela nafas pelan dan mengangguk mengerti. Terduduk di sampingnya dan menepuk pelan puncak kepala Jemima.
"Aku gak tau masalah apa yang kamu hadapi sampe untuk cerita ke aku aja kamu gak bisa. Apapun itu, tolong jangan terlalu di pikirin Je. Aku gak bisa selalu dampingin kamu kayak kita pas masih lajang. Jadi aku gak bisa selalu ngingetin kamu buat makan. Kamu jarang makan kan akhir-akhir ini?"
Jemima tersenyum miris mendengar ocehan pria di sampingnya. Sementara Tian merogoh sesuatu dari dalam tasnya dan mengeluarkan sebuah roti kemudian menyodorkannya pada rekan kerjanya itu.
"Makan."
"Aku udah-"
"Aku tau kamu belom sarapan. Kamu masih menyusui Kayla kan? Jadi makan."
"Kayla uda pake susu formula kok."
"Apapun itu aku mau kamu makan."
Jemima menghela nafas pelan dan mengangguk pasrah. Meraih roti tersebut dan membuka bungkusnya. Satu suapan, dua suapan, dan tiga suapan. Wanita itu kembali terdiam. Bahunya bergetar berusaha menahan tangis. Menyadari hal itu, Tian mengedarkan pandangan. Berusaha memastikan tak ada siapapun di tempat ini selain mereka.
Pria itu pun mempersempit jarak. Mengusap pelan punggung Jemima dan memberikan tepukan-tepukan pelan untuk menenangkan.
"Iya nangis aja. Gak apa kok nangis aja. Mumpung lagi gak ada orang."
"Aku harus gimana mas?"
Keluh Jemima di sela isakan tangisnya. Satu tangannya yang lain mencengkram lengan pria yang kini merengkuhnya.
Di lain tempat, tatapan Jeffry tak juga beralih dari layar ponselnya. Sebuah pesan yang Nadia kirimkan sukses membuat pria itu tak mampu memfokuskan dirinya pada pekerjaannya pagi ini.
Entah sudah berapa kali pria itu menghela nafas gusar seraya mengusap wajahnya. Ia melonggarkan ikatan dasinya dan menggulung lengan kemejanya hingga siku. Setelah beberapa saat, Jeffry bangkit dari duduknya dan meraih jas serta kunci mobil miliknya sebelum ia bergegas pergi meninggalkan ruang kerjanya.
-
Jemima mengendarai mobil dengan kecepatan standar. Sesekali wanita itu memperhatikan tampilan dirinya melalui kaca mobil. Memastikan jika make up berhasil menyembunyikan wajah sembabnya. Setelahnya wanita itu menghela nafas lega dan mengangguk mantap.
Ia tersenyum ketika netranya melihat foto malaikat kecilnya yang menggantung di mobil. Foto itu diambil ketika Kayla baru berusia seminggu. Menyadari bahwa rasanya waktu berlalu begitu cepat. Kini gadis cilik itu sudah dapat melangkahkan kakinya kemana pun ia mau. Sudah bisa memanggil papa mama dengan suara imutnya. Dan bisa mengucapkan apapun yang ia inginkan walau masih mengalami keterbatasan suku kata.
Mengingatnya membuat Jemima ingin cepat-cepat sampai ke rumah papanya untuk menjemput anak gadisnya itu. Kayla yang begitu manis selalu membuatnya merindukannya. Ia pun mempercepat laju kendaraannya. Namun di saat bersamaan netranya menangkap sosok sang suami yang berjalan keluar dari sebuah apotek.
Sontak hal tersebut membuat wanita itu kembali memperlambat kecepatan mobilnya. Untuk urusan apa suaminya itu keluar di jam kantor? Terlebih tempat ini terbilang cukup jauh dari kantor tempatnya bekerja. Dilihatnya Jeffry kembali memasuki mobil dan mulai menjalankannya.
Seolah melupakan tujuan awal, Jemima kembali mempercepat laju kendaraannya. Diam-diam mengikuti jalan yang pria itu lewati. Rasa penasarannya sudah tak dapat ia bendung. Ia harus mengetahui apapun yang Jeffry sembunyikan saat ini.
Selama di perjalanan, ekspresi wanita itu begitu tegang. Tatapannya begitu fokus pada mobil yang berjarak tak jauh darinya. Memastikan ia tak akan kehilangan jejak sang suami. Hingga tatapannya berubah bingung ketika Jeffry memarkirkan mobilnya di sebuah rumah yang cukup familiar.
"Rumah Nadia.."
Gumam wanita itu yang perlahan menyadari akan satu hal. Nadia. Wanita yang merupakan rekan kerja serta teman masa kecil suaminya, akhir-akhir ini memang sering kali menghubungi Jeffry. Dan yang terjadi setelahnya, pria itu akan terlihat gelisah dan berubah menjadi sedikit sensitif. Dan kini benaknya mulai memikirkan segala kemungkinan-kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi.
Memori tentang Nadia yang mendatangi rumah mereka pada hari ulang tahun Kayla dan mengatakan bahwa dirinya hamil kembali teringat. Pada saat itu Jemima hanya berpikir jika ia salah dengar. Namun ingatan itu seakan menjadi akar permasalahannya saat ini. Dan juga ketika ia bertemu dengannya di poli kandungan beberapa saat yang lalu juga berputar jelas dalam ingatannya.
Bahu Jemima terasa lemas kini. Memikirkan segala kecurigaan yang mungkin saja terjadi. Jemarinya yang bergetar hebat berusaha keras membuka sabuk pengaman yang terasa seperti melilit tubuhnya. Wanita itu kemudian membuka cepat pintu mobil. Ia bahkan nyaris terjatuh begitu keluar dari mobil jika saja tak berpegangan pada pintu. Lututnya terasa lemas dan tak bertenaga kini.
Ingin rasanya Jemima berputar arah dan melupakan apa yang baru saja dilihatnya. Namun rasa penasarannya lebih besar dari keinginannya untuk melindungi diri. Kening wanita itu basah akan keringat dengan matanya yang memerah. Setelah cukup lama, ia memutuskan untuk berjalan mendekat.
Pintu rumah yang sedikit terbuka seakan mendukung aksi penyelidikannya. Dengan cepat Jemima meraih gagang pintu dan membukanya. Di detik berikutnya, tatapan wanita itu berubah menjadi sayu. Seolah ia sudah menduga pemandangan Jeffry yang tengah memeluk Nadia akan menyapa indera penglihatannya.
Menyadari kehadiran wanita itu, Jeffry dengan cepat melepas pelukannya. Berjalan mendekat dan hendak menggenggam tangan sang istri namun Jemima telah lebih dulu menepisnya.
"Je."
"Ngapain kamu mas?"
"Aku bisa jelasin."
"Perut kamu kenapa besar Nad? Kamu gendutan? Tapi yang aku liat itu lebih mirip perut ibu hamil."
Ujarnya seolah tepat sasaran melihat raut wajah dua orang di hadapannya yang kini menegang. Mengabaikan tatapan sang suami, wanita itu segera berbalik dan berjalan menuju mobilnya.
"Je, tunggu. Je, kamu mau kemana sayang? Jemima, dengerin aku dulu."
Jemima menghempas kasar genggaman pria yang berhasil menahannya. Wanita itu berbalik cepat dan menatap Jeffry penuh amarah.
"Kita bicara di rumah."
Ucap wanita itu sebelum ia masuk ke dalam mobil. Detik berikutnya, Jemima mulai menjalankan mobilnya meninggalkan Jeffry yang kini mengacak rambutnya gusar.
~~~
Kita uda mau ke konflik.
Maaf kalo alurnya terkesan lambat yaaa (^_^")
KAMU SEDANG MEMBACA
Sajak Tentang Memaafkan [END]
Fanfiction{FANFICTION} Dulu bagi Jemima, seorang Jeffry Alvaro adalah pria paling bertanggung jawab yang ia junjung tinggi. Pria itu adalah sebaik-baiknya tulang punggung yang tuhan takdirkan untuknya. Begitu pula bagi Jeff. Wanita yang biasa ia panggil Jeje...