Komen kurang dari 10, aku bikin cerita ini sad ending kayak di tiktokku.
***
"Rania makin lengket aja sama papanya."
Suara Alin yang terdengar membuat Jemima beralih dari layar ponsel yang menampilkan video kedekatan Jeffry dan juga Rania. Wanita itu pun tersenyum dan mengangguk kemudian kembali menatap ponselnya.
"Aku seneng Rania bisa ketawa lepas kayak temen-temennya yang lain mbak."
"Dan aku seneng kamu bisa kembali seperti dulu."
Jemima kembali beralih pada kakak iparnya itu dengan bingung. Sementara Alin tersenyum penuh arti menatapnya.
"Je, apa kalian gak ada rencana untuk rujuk?"
"Ru..juk?"
Senyum di bibir wanita itu memudar kini. Seolah pertanyaan sederhana yang Alin lontarkan adalah hal paling membingungkan yang tak bisa ia mengerti.
"Yang aku lihat baik kamu maupun Jeffry, kalian masih sama-sama cinta. Jadi kenapa gak rujuk aja?"
"Mbak."
"Kamu lihat anak kamu? Dia bener-bener seneng. Iya aku tau kalo emang dasarnya Rania itu anak yang ceria dan gampang ketawa. Tapi bahagianya dia sekarang tuh beda. Kebahagiaan yang gak pernah aku lihat di diri Rania sebelumnya."
Ada jeda sejenak sebelum wanita itu melanjutkan.
"Hari sabtu dan minggu adalah hari favoritenya. Bukan karena dia libur sekolah. Tapi karena di hari itu dia bisa puas-puasin main sama papanya."
Tanpa disadari, Jemima mengangguk menyetujui argumen kakak iparnya. Membuat Alin kembali tersenyum. Jemari lentik wanita itu mengusap lembut punggung Jemima.
"Jadi kenapa gak di coba sekali lagi aja?"
"Aku masih ngerasa bersalah mbak."
"Hm?"
"Sama ayah dan ibu. Karena kesalahpahamanku, mereka berakhir dengan membenci mas Jeffry untuk waktu yang lama. Menanggung malu dan beban moral di hadapan masyarakat."
"Tapi kan itu bukan kesalahanmu."
"Aku tau. Tapi itu salah papa. Kesalahan yang gak akan pernah termaafkan. Dan sebagai anaknya, aku ngerasa gak pantes untuk kembali dengan mas Jeff seolah gak pernah terjadi apapun diantara kami."
"Apa orang tua Jeffry tau soal ini?"
"Nadia uda menceritakan semuanya."
Sahut Jemima sembari mengangguk beberapa kali.
"Lalu reaksi mereka?"
"Gak ada yang berubah. Mereka tetap memperlakukan aku seperti anak mereka sendiri. Dan hal itu pula yang bikin aku semakin merasa bersalah."
Ketika Alin hendak menimpali kembali ucapan adik iparnya itu, dering ponsel milik Jemima terdengar. Keduanya terdiam begitu melihat nama papa tertera di layar ponsel. Jemima menghela nafas panjang dan tanpa berpikir, ia menggeser tombol merah untuk menolak panggilan tersebut.
"Je."
"Nggak mbak. Jangan meminta aku untuk hal yang gak mau aku lakuin. Aku belum bisa maafin papa."
Alin menghela nafas dan mengangguk mengerti.
-
Jemima beranjak dari duduknya begitu mendengar suara deru mesin mobil yang berhenti tepat di depan rumahnya. Ia sudah sangat hafal pemilik mobil tersebut. Setelah mematikan televisi yang sedari tadi ia tonton, wanita itu lantas berjalan menuju pintu dan membukanya.
"Gimana jalan-jalannya sayang?"
Tanya Jemima begitu melihat Jeffry yang baru saja membuka pagar serta puteri mereka yang berlari kearahnya.
"Tadi baba beyiin Ania pelmen gula yang besyar ma."
Seru gadis cilik itu bercerita dengan sepasang matanya yang memancarkan binar bahagia. Membuat kedua orang dewasa itu tertawa. Menanggapi celotehan Rania yang seolah tak akan berakhir dalam beberapa jam ke depan.
Jeffry berjongkok menyamakan posisinya dengan Rania. Mengusap lembut puncak kepala gadis itu dan mengecup singkat pipinya.
"Papa pulang dulu ya nak."
Ucapnya namun kembali terdiam kala jemari mungil Rania menahan lengan kausnya. Menatap sang papa dengan tatapan memohon. Membuat Jemima dan Jeffry saling bertukar pandang kebingungan.
"Kenapa sayang?"
"Baba gak usyah pulang."
"Loh, papa kan capek. Mau istirahat biar besok bisa main lagi sama Rania."
Ujar Jemima yang kini turut berjongkok dan mengusap punggung mungil gadis itu.
"Baba tidul disyini aja. Ya ma?"
Permintaan Rania membuat kedua orangtuanya terkejut. Sebuah permintaan yang tak dapat Jemima turuti. Bagaimana bisa pria dan wanita yang tidak terikat dalam status pernikahan tinggal dalam satu atap?
"Gak bisa sayang."
"Kenapa?"
"Gak ada kamar lagi buat papa. Nanti papa mau tidur dimana? Masak papa suruh tidur di sofa? Kasian nanti badannya sakit."
"Baba kan bisya tidul syama kita ma. Kamal ania luaass."
Sahut gadis mungil itu membentangkan tangannya, seakan ingin membuktikan bahwa kamar miliknya memang luas. Lain halnya dengan Jemima dan Jeffry yang tersenyum kikuk kini. Tak tau jawaban seperti apa yang harus mereka berikan hingga membuat anak seusianya dapat mengerti.
"Papa tidur disininya kapan-kapan aja ya sayang?"
Ujar pria itu yang membuat Jemima mendelik menatapnya.
"Kenapa gak syekalang?"
"Eee.. Itu.. Emm.."
"Papa sibuk nak. Ada banyak pekerjaan. Kalo papa gak kerja, nanti papa gak punya uang buat ajak Rania jalan-jalan dan beliin mainan lagi."
Potong Jemima yang diangguki Jeffry. Sementara Rania tampak sedikit mengerti kini.
"Jadi Rania masuk dulu. Bersihin badan, makan, trus habis itu tidur. Biar bisa cepet-cepet besok. Trus bisa ketemu papa lagi."
"Syama mama?"
"Hm?"
Rania beralih menatap Jemima. Mengacungkan jari kelingkingnya memberi isyarat. Sementara wanita itu nampak kebingungan.
"Besyok mama ikut juga."
"Mama?"
"Baba, Ania, mama. Mama ikut juga ya?"
"Rania mau mama ikut?"
Jemima beralih menatap Jeffry dan pria itu mengangguk mengiyakan. Dengan menghela nafas samar, ia pun mengangguk setuju.
"Iya besok mama ikut."
"Janji?"
Ujar gadis mungil itu kembali menyodorkan jari kelingkingnya. Jemima tersenyum tipis dan membalas tautan kelingking putrinya.
"Janji."
~~~
KAMU SEDANG MEMBACA
Sajak Tentang Memaafkan [END]
Fanfiction{FANFICTION} Dulu bagi Jemima, seorang Jeffry Alvaro adalah pria paling bertanggung jawab yang ia junjung tinggi. Pria itu adalah sebaik-baiknya tulang punggung yang tuhan takdirkan untuknya. Begitu pula bagi Jeff. Wanita yang biasa ia panggil Jeje...