19 : Pertemuan

912 102 8
                                    

Jemima melangkahkan kakinya memasuki sebuah gedung rumah sakit. Dengan membawa sebuah bingkisan, wanita itu nampak ragu-ragu begitu ia tiba di hadapan sebuah pintu berwarna putih.

Setelah terdiam cukup lama, jemarinya tergerak membuka knop pintu. Mendapati pria paruh baya yang kini menoleh. Tersenyum hangat kearahnya seraya bangkit dan berjalan mendekat.

"Kamu dateng Je."

"Ibuk sakit apa pak?"

Tanya wanita itu seraya menyerahkan bingkisan yang ia bawa.

"Jantungnya kumat. Tapi uda gak apa kok. Besok uda boleh pulang kata dokter."

"Syukur kalo gitu."

"Padahal bapak tadi nelfon cuma mau bilang kalo gak bisa jemput Rania. Kamu gak perlu sampe datang kesini."

"Jemima juga gak bisa lama disini pak. Masih ada kerjaan. Cuma mau lihat keadaan ibuk aja."

Sahutnya seraya beralih menatap mantan mertuanya yang kini tengah terlelap.

"Kalo gitu aku langsung balik ya pak."

"Gak mau duduk dulu?"

"Nggak pak. Uda di tunggu temen di lobi."

Ucap wanita itu kemudian bergegas keluar dari ruangan. Namun langkahnya kembali terhenti begitu tepat di hadapannya, hanya berjarak beberapa langkah darinya, ia kembali di pertemukan dengan sosok Jeffry. Sosok sang mantan suami yang telah berhasil memporak-porandakan hidupnya hanya dalam hitungan hari.

Keduanya saling terdiam dengan tatapan yang saling mengunci. Setelah cukup lama, pria itu berjalan mendekat. Memandangnya sendu namun lain halnya dengan Jemima yang enggan menatapnya lebih lama.

"Kamu disini.."

"Aku denger ibu sakit. Jadi aku dateng."

"Makasih."

"Aku pamit."

"Rania.."

Nama yang pria itu ucapkan, berhasil membuat langkah Jemima terhenti. Dengan kilatan amarah yang terlihat jelas dari sorot matanya, wanita itu pun lantas berbalik.

"Dia cantik. Makasih uda ngelahirin anak secantik Kayla dan Rania. Dan-"

"Jangan pernah nyebut nama mereka. Kamu gak punya hak."

Sanggahnya yang kini kembali berbalik dan melanjutkan langkahnya. Meninggalkan pria yang masih setia memandangi punggung mantan istrinya yang kian menjauh.

Sementara Jemima tanpa berniat untuk berbalik, wanita itu mempercepat langkahnya. Berjalan menuju lobi dan menemui Tian yang sedari tadi menunggunya. Melihat kedatangannya, pria itu pun bangkit dari posisinya.

"Loh uda mau ba-"

Tian menggantungkan kalimatnya begitu ia melihat raut wajah Jemima yang tampak berusaha menahan tangis.

"Kamu kenapa?"

Bukannya menjawab, wanita itu hanya menggeleng pelan dan membuang muka.

"Je, kamu kenapa?"

"Nggak apa mas."

"Nggak apa-apa gimana? Kamu pucet gini."

Tanyanya sekali lagi seraya memegangi kedua pundak Jemima. Namun Jemima tetap diam tak bergeming. Melihatnya pria itu menghela nafas dan mengangguk mengerti.

"Yaudah kita ke mobil dulu."

Ucap Tian pada akhirnya.

-

"Good morning!"

Sapa Windy berjalan memasuki ruang kerja dengan perutnya yang membesar. Merubah atmosfir ruangan yang semula suram menjadi lebih cerah berkat kehadirannya.

"Loh kamu masuk?"

"Iya dong mbak. Masa aku absen tiap hari."

"Gimana kondisimu Win?"

"Hari ini aku sangat berenergi mbak. Semalem kupikir bakal gak masuk kerja lagi. Soalnya uda lemes banget dan mual-mualku yang gak selesai juga. Eh pas bangun tadi pagi entah kenapa harus banget masuk kerja."

Sahut wanita itu penuh semangat sementara Alin hanya tersenyum menanggapi ocehan Windy yang seolah tak ada habisnya.

"Tumben jam segini masih sepi. Tian sama Jemima mana?"

"Tian gak masuk lagi sakit. Jemima pamit keluar sebentar ada urusan."

"Itu anak berdua mencurigakan deh mbak."

Ujar Windy dengan sepasang matanya yang memicing.

"Mencurigakan gimana?"

"Ya.. Mbak curiga gak sih?"

"Curiga kenapa? Kamu pagi-pagi uda ngajakin ngegosip aja."

"Ya abisnya mereka jadi lebih lengket gitu. Kemana-mana selalu bareng. Ya aku tau mereka emang uda deket dari dulu. Tapi yang ini jadi lebih deket lagi. Ngerti gak sih mbak maksud aku?"

Melihat tingkah rekannya yang sudah seperti detektif dadakan itu, Alin hanya bisa menghela nafas pelan dan menggeleng heran. Ia memilih untuk kembali ke mejanya. Meninggalkan Windy dengan rasa keingintahuannya yang tak tertahan.

-

Jeffry melangkahkan kakinya memasuki sebuah makam. Dengan pepohonan yang begitu rindang dan juga rumput yang hijau. Langkahnya terhenti tepat di depan sebuah pusara. Pada sebuah Nisan bertuliskan Kayla Vanesha Alvaro, ia jatuh berlutut. Tubuhnya bergetar hebat menahan tangis dengan linangan air mata yang membasahi wajahnya.

Kedua tangannya mengepal kuat pada rerumputan yang tumbuh begitu indah di atas pusara puteri kecilnya. Pandangannya tertunduk menyembunyikan duka yang terpancar jelas melalui sepasang netra pria itu.

"Maafin papa."

Adalah kata yang berulang kali ia ucapkan. Berharap permohonan maaf dalam tangis pilunya dapat tersampaikan pada raga yang kini tak lagi bernyawa.

Setelah Jeffry dapat menetralisir kesedihannya, ia menghirup nafas cukup panjang kemudian menghembuskannya. Mengusap dadanya yang terasa sesak seraya menghapus sisa-sisa air mata yang membasahi wajahnya.

Jemari pria itu tergerak meletakkan sebuket bunga tulip berwarna putih serta boneka beruang berukuran mini di atas makam Kayla. Tersenyum tipis dengan tatapannya yang kini berubah teduh. Tatapan yang sama yang dulu sering ia perlihatkan pada sosok menggemaskan itu.

"Papa bawa boneka kesukaan Kayla."

Ucapnya sembari mengusap lembut batun nisan di hadapannya kemudian mengecupnya singkat.

"Papa pulang dulu ya nak. Besok papa balik lagi. Kalo Kayla mau, papa bakal dateng tiap hari. Bacain dongeng dan lakuin apapun yang Kayla suka. Supaya-"

"Uda telat."

Sebuah suara yang sangat familiar menyapa indera pendengarannya. Perlahan Jeffry menoleh keasal suara dan mendapati Jemima yang kini memandangnya geram. Seolah siap menumpahkan amarahnya. Dan pria itu pun nampaknya sudah siap dengan sumpah serapah yang akan mantan istrinya itu layangkan kepadanya.

~~~

Sajak Tentang Memaafkan [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang