14 : Akhir

809 100 16
                                    

TIINN TIINN

BRAKK

Mata yang terpejam itu perlahan membuka. Dengan nafas yang tersengal, Jemima perlahan mengangkat wajahnya dari setir mobil. Mengedarkan pandangannya ke sekitar. Beberapa orang terlihat mendatanginya dan mengetuk kaca mobil. Memastikan jika dirinya baik-baik saja.

Diantara kerumunan itu, terdengar suara yang sangat familiar menyapa indera pendengarannya. Jemima lantas menoleh dan mendapati Sultan yang berusaha membuka pintu mobil. Tampak jelas gurat ke khawatiran di wajah pria itu. Mengetuk dengan keras kaca mobil seraya meneriakkan namanya.

"Jemima, ini mas Sultan. Buka Je. Kamu gak apa-apa kan? Bukain pintunya dek!"

Dengan tubuh yang bergetar, perlahan Jemima membuka tombol kunci dan saat itu juga Sultan membuka kasar pintu mobil. Menangkup wajahnya dan memperhatikan kondisi sang adik. Terdengar helaan nafas lega pria yang kini menarik adiknya itu ke dalam dekapan eratnya. Sementara Jemima hanya dapat terisak dan membalas pelukan Sultan tak kalah eratnya.

"Kamu gak apa? Kita ke rumah sakit sekarang."

Ujar pria itu yang segera di tahan oleh Jemima. Membuatnya mendapat tatapan bingung. Jemima menghapus sisa-sisa air matanya seraya tersenyum.

"Nggak mas. Aku gak apa-apa."

"Gak apa apanya! Kamu keringetan gini."

"Aku beneran gak apa-apa. Anter aku pulang aja. Biar aku istirahat di rumah ya?"

"Tapi Je-"

"Beneran mas."

Ada jeda beberapa saat sebelum akhirnya Sultan menghela nafas pelan dan mengangguk pasrah. Ia sangat tahu bagaimana sifat Jemima. Adik semata wayangnya itu menuruni sifat ibunya, sangat keras kepala. Maka yang bisa ia lakukan hanyalah menuruti perkataannya. Selama Jemima baik-baik saja itu sudah cukup baginya.

"Oke. Kalo gitu biar aku telfon Jeffry."

"Gak usah mas!"

Tolak wanita itu cepat membuat Sultan lagi-lagi menatapnya bingung. Kerutan di kening pria itu tergambar jelas kini.

"Kok gitu?"

"A-aku.. Aku gak mau bikin dia khawatir."

"Ya harus khawatir dong. Istrinya kecelakaan gini."

"Aku beneran gak apa kok mas."

"Hah yaudah. Bentar aku telfon temenku dulu buat urus semua yang disini."

Ucap pria itu pada akhirnya.

-

"Kayla biar hari ini tidur di rumahku aja. Kamu istirahat yang banyak. Minum obat yang uda aku beliin tadi."

"Iya. Makasih ya mas."

Sahut Jemima seraya keluar dari mobil sang kakak. Tak lupa tersenyum dan melambaikan tangan begitu mobil miliki pria itu mulai melaju meninggalkannya. Dengan cepat Jemima berbalik dan membuka pagar rumahnya dan mendapati tak ada mobil Jeffry yang terparkir disana. Wanita itu pun bergegas memasuki rumah. Mencari di setiap sisi ruangan namun nihin. Tak juga ia mendapati keberadaan pria itu dimana pun. Jemima meraih ponsel dari dalam tasnya dan melakukan sebuah panggilan.

"Halo bu, mas Jeff ada disana?"

"Tadi sempet mampir kesini. Trus pamit bilang mau ada urusan. Belum pulang memangnya?"

"Belom bu. Yaudaha nanti biar aku coba hubungi lagi."

Ucapnya dan mengakhiri panggilan. Dengan segera ia menekan aplikasi taksi online dan membuat pesanan. Hanya satu tujuan yang dapat terpikirkan olehnya saat ini.

-

Jemima terdiam di tempatnya. Sudah sepuluh menit semenjak taksi yang ia tumpangi tiba di depan rumah Nadia. Namun wanita itu tak juga beranjak dari tempatnya. Berulang kali ia menghela nafas dan tertunduk hingga akhirnya memberanikan diri.

"Pak, tolong tunggu sebentar ya."

"Kenapa mbak? Habis ini mau langsung pulang?"

Dengan ragu-ragu, Jemima mengangguk pelan.

"Saya khawatir yang saya cari gak ada di rumah ini."

"Emang nyari apa mbak?"

"Suami saya."

Sahutnya singkat yang membuat sang supir tergelak.

"Ah si mbak. Suami kok dicari sampe pesen taksi. Kan bisa di telfon."

Jemima hanya tersenyum dan mengangguk mengiyakan.

"Pokoknya tunggu sebentar ya pak."

"Siap mbak."

Wanita itu pun mulai membuka pintu mobil dan bergegas keluar. Berjalan melewati pagar dan mendapati mobil sang suami. Tersenyum hambar seraya melanjutkan langkahnya. Mengetuk pintu rumah beberapa kali dan terdengar suara sautan dari dalam. Tak lama pintu pun terbuka dan menampakkan sosok Nadia yang nampak terkejut karena kehadirannya.

"J-Je.."

"Dimana suami aku?"

Tanpa menunggu jawaban Nadia, wanita itu pun menerobos masuk dan mendapati sosok Jeffry yang berada di ruang tengah.

"Kamu ngapain disini?"

"Bukannya pertanyaan itu yang harusnya aku tanyain? Ngapain kamu disini?"

"Kita bicara di rumah."

Ujar Jeffry sembari meraih tangan Jemima namun wanita itu menepisnya kasar.

"Jadi alasan utama kamu pengen cerai emang bener-bener karena perempuan ini."

"Aku bilang bukan."

"Trus karena alasan apa? Apa ada alasan yang lebih masuk akal dari ini?"

"Kita pulang sekarang."

"Lepasin!"

Jemima mendorong kasar tubuh pria yang kini merangkulnya. Tangis yang sedari tadi ia tahan kini kembali tumpah ruah. Tatapan tajamnya beralih pada Nadia sementara wanita itu hanya tertunduk kini.

"Puas kamu Nad? Ini yang kamu mau kan?"

"Je."

"Gimana rasanya berhasil bikin orang mau cerai?"

"Aku gak pernah minta kalian buat cerai."

"BASI!! MALING MANA ADA YANG MAU NGAKU!"

Teriaknya histeris kini. Dengan tubuh yang bergetar menahan amarahnya, Jemima beralih menatap Jeffry yang kini menatapnya dengan tatapan yang tak dapat diartikan. Wanita itu pun mendekat. Melayangkan pukulan-pukulan keras di dada bidang sang suami.

"Jahat, gak ada otak, bejat kamu! Selama ini aku selalu berusaha lakuin yang terbaik tapi ini balesan kamu buat aku, iya? ANAK KAMU MASIH KECIL MAS! BUTA MATA KAMU HAH? OTAK KAMU TARO DIMANA!!!"

Beragam cacian ia layangkan juga pada akhirnya. Amarah yang selama ini di redam akhirnya meluap begitu sana. Tanpa sisa. Selanjutnya yang Jemima lakukan adalah melayangkan tamparan keras di pipi Jeffry.

Tanpa sepatah kata, wanita itu pun beranjak pergi. Kembali memasuki mobil dan menutup pintu. Mengerti dengan situasi, sang supir taksi mulai menancap gas meninggalkan tempatnya. Sementara Jemima kembali menumpahkan tangisnya dalam diam.

~~~

Sajak Tentang Memaafkan [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang