28 - Sebuah Janji

7K 878 22
                                    

Arden berjalan sempoyongan, mencoba keluar dari salah satu kamar yang sudah sangat ia kenali. Ia berusaha mengumpulkan seluruh kekuatan yang ia miliki untuk meraba dinding, atau apapun yang memungkinkan dirinya untuk bisa segera mencapai dapur.

"astaga, Arden! Duduk sini, duduk" Dengan mata terpejam, Arden sangat yakin bahwa suara panik barusan adalah milik Melody Adeline si kekasih kesayangan abang sepupunya.

"tunggu di sini, gue ambilin minum" Melody menaruh tas slempang yang tadi ada di pundaknya, setelah berhasil membawa Arden duduk dengan posisi sempurna. Setelah itu ia berlari kecil menuju dapur mencari air mineral.

"sudah sadar lo?" Gerald menyapa Arden dengan suara super dingin, saat Melody menyodorkan gelas padanya. Pening di kepalanya akibat kebanyakan minum alkohol kini semakin bertambah pusing, ia tahu apa yang akan dihadapinya.

Dengan gerakan takut-takut, Arden membenarkan posisi duduknya karena kini Gerald sudah duduk dengan tangan bersedakap di dada, bersiap memberikan hukuman untuk dirinya.

"sorry Bang"

"buat apa?"

Arden diam sejenak, dengan tatapan curi-curi ia melihat Melody mengelus lengan abang sepupunya-mungkin, maksudnya menenangkan. Tapi apakah cara Melody berhasil?

"gue semalem lepas kendali"

Gerald menatap marah ke arah Arden. Dan Arden sungguh tahu apa maksud tatapan itu.

"lo tahu kan Den, keluarga kita nggak mengenal alkohol dan narkoba. Sebanyak apa pun uang kita, semampu apa pun kita membeli mereka. Tapi, selamanya uang kita haram untuk membeli dua barang itu!"

Suara Gerald meninggi, lagi-lagi Melody yang ada di sampingnya adalah pihak yang sedang mencoba untuk mengembalikan ketenangan kekasihnya. Melody tahu aturan ini, sedari dulu keluarga putra wijaya memang tidak mengizinkan keturunan untuk menyentuh dua hal tersebut. Dari yang Melody tahu, salah satu adik dari kakek mereka dulunya meninggal karena over dosis. Berdasarkan alasan tersebutlah, kakek mereka mendidik semua anak cucunya untuk mengambil langkah paling jauh dari dua benda haram tersebut.

Arden masih diam di tempatnya ia tidak bisa memberikan pembelaan apa pun untuk apa yang telah ia lakukan. Tadi malam, setelah pulang dari kediaman keluarga Lea, hatinya berkecamuk. Ia tiba-tiba dihantui perasaan takut yang teramat besar. Bagaimana, jika hingga akhir ternyata Mami Lea tetap tidak akan menerima kehadirannya? Apa yang begitu salah tentang dirinya, sampai tidak bisa diterima? Di sisi lain, ada perasaan bersalah teramat besar yang menghantui dirinya, karena lagi-lagi, ia membuat seorang ibu dan anak gadisnya harus bertengkar gara-gara dirinya. Apa ia layak untuk menjadi alasan retaknya hubungan orang tua dan anak?

"Arden Putra Wijaya, jawab!!" suara Gerald yang meninggi, membuat Arden tersadar dari lamunannya.

"iya bang gue tahu, gue salah. Nggak akan gue ulangi lagi"

"Mas, udah!" melody buru-buru menghentikan kekasihnya yang hendak kembali membuka mulut. Ia tahu, jika Gerald terus mengeluarkan suara, situasinya tidak akan baik. Gerald adalah tipikal manusia yang sangat sulit mengendalikan apa-apa yang akan keluar dari mulutnya, jika sedang emosi.

Dengan membuang napas kesal, akhirnya Gerlad memilih untuk diam sejenak, mencoba meredam emosi yang sudah menguasai dirinya sejak tadi malam, saat ia menemukan Arden mabuk berat.

Diam-diam, Arden merasa sedikit lega. Untung saja, pagi ini Melody datang menyelamatkannya, jika tidak, mungkin pagi ini Gerald sudah memutilasinya. Thankyou mel

"tenang ya, nggak boleh emosi. Kalo kebanyakan marah-marah nanti gak ganteng lagi. Kalo nggak ganteng, ntar aku batalin acara nikahan kita. Emang mau?" Arden mengangkat alis menyaksikan tingkah Melody, yang sedang coba menenangkan Gerald. Bukan kah cara ini terlalu extream?

90 Days (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang