"ARDEEENN!!!" Suara, dan derap lari dari orang tuanya, adalah hal pertama yang berhasil membuat Ileana mengembalikan kesadarannya. Akhirnya, tanpa pikir panjang Lea ikut berlari sambil menarik tiang infus yang sedari tadi ia pengang. Lea tidak peduli lagi dengan kondisi tubuhnya yang juga masih lemah, ataupun dengan kondisi infusnya yang mungkin tidak lagi terpasang dengan benar. Saat ini, satu-satunya yang Lea pedulikan adalah keadaan Arden.
"Ardeeen, turun!" Lea berteriak sambil menangis, memaksa Arden yang sudah hampir melompat dari pagar balkon, untuk segera turun-mengurungkan niatnya.
Tentu saja Arden tidak langsung melakukan apa yang disuruh Lea, ia hanya diam di tempatnya sambil menatap wajah Lea yang kini terlihat panik, bahkan air mata sudah menganak sungai di wajah gadis tersebut.
"Please...." pinta Lea dengan suara parau karena tangis. Kali ini tanpa menunggu lagi, Arden buru-buru turun, lalu menghambur dalam pelukan Lea. Keduanya saling menangis dan memeluk, menumpahkan segala macam emosi yang beberapa waktu kebelakang berkecamuk di hati masing-masing.
Pada nyatanya, menanggung beban berdua memang akan selalu lebih menyenangkan, ketimbang harus sendirian. Saling berbagi air mata, dan saling berbagi pelukan, adalah hal tepat yang seharusnya dilakukan oleh pasangan. Karena memang itulah sebenarnya tugas pasangan, bukan justru saling menyakiti dan meninggalkan.
"Bodoh! Bodoh! Bodoooh!" Lea menangis, masih sambil memukul-mukul punggung Arden. Ia tidak habis pikir dengan kebodohan laki-laki yang ada dalam pelukannya.
Arden yang menerima pukulan bertubi-tubi, saat ini justru merasa sangat bahagia. Baginya, apa yang dilakukan oleh Lea adalah wujud kasih sayang untuknya. Seolah tidak ingin lagi kehilangan Lea, Arden memeluk gadis tersebut dengan sangat erat. Ia tahu, setelah ini, cintanya pada Ileana akan terus membesar setiap harinya, karena setelah melalui hari-hari penuh kesakitan, Arden akhirnya paham bahwa Lea terlalu sangat berarti baginya.
Pemandangan yang ada di depan kedua orang tua Lea, pada akhirnya juga membuat mereka mengerti, bahwa sejoli ini tidak mungkin lagi terpisahkan. Bahkan, setelah masalah yang begitu besar menghantam, mereka tetap berujung pada kata rujuk, dan kembali bersama. Lalu, apa lagi yang kira-kira bisa membuat mereka akan terpisah selain kematian? Kiranya tidak ada. Dari sini, mami Lea seharusnya juga mengerti, bahwa Arden adalah calon terbaik, rasanya tidak ada laki-laki yang akan mampu mencintai Lea, sebesar Arden.
"Aku tahu aku bodoh, tapi kamu juga!" Arden tiba-tiba ingat pada apa yang dikatakan Sandra, dan alasan terbesar yang membuatnya memiliki keberanian untuk sekali lagi memohon kesempatan pada mami Lea.
Lea menatap Arden dengan sebal, karena baru saja dikatai bodoh. Sepertinya, mantan kekasihnya ini sudah kembali normal pada sifat alaminya.
"Coba sini, aku liat" Arden meraih kedua pergelangan tangan Lea lalu memeriksanya. Namun sesaat kemudian, dahinya mengerut, ia tidak menemukan apa pun di sana.
"Kamu minum obat?" Arden bertanya panik sambil mengguncang bahu Lea. "Oh astaga, atau jangan-jangan, racun?"
"Apaan sih Den?" Lea makin dibuat bingung dengan pertanyaan aneh yang dilontarkan oleh Arden.
Seolah tidak memperdulikan pertanyaan Lea, Arden justru heboh mengangkat dagu Lea, agar ia bisa lebih leluasa memeriksa leher bagian atas gadis yang ia cintai. "Aneh, gak ada bekas apa pun?"
"Emangnya kamu berharap nemuin bekas apa?!!" Lea melotot sambil memukul lengan atas Arden. Gila sekali tingkah Arden, memangnya dia tidak tahu kalau kalimatnya barusan sangat berpotensi untuk disalah pahami oleh orang lain? Tolong jangan lupa, di sini masih ada orang tua Lea.
"Takutnya kamu milih cara ekstream"
"Apaan sih Den, nglantur banget! Ini kita baru baikan lho. Kamu udah mau ngajak ribut lagi?!"
"Enggak-enggak gitu. Aku cuma mastiin aja. Soalnya kemarin kata Sandra kamu masuk rumah sakit gara-gara melakukan percobaan bunuh diri"
"HA???" Lea dan orang tuanya berseru bersama. Lalu, sesaat kemudian, mereka bersama-sama menertawakan wajah polos Arden yang kini justru terlihat bingung.
"Kamu diboongin Sandra Den, haha"
Arden hanya memberikan respon bertanya-tanya-menuntut penjelasan lebih, atas pernyataan mami Lea barusan."Lea masuk rumah sakit gara-gara tyfus, dan gangguan cemas, makanya sempet sesak juga" sambung Mami Lea masih sambil tertawa, kemudian berjalan masuk ke ruang rawat inap bersama suaminya. Mereka mengerti bahwa Lea dan Arden, masih perlu waktu untuk bicara dari hati ke hati.
"Jadi, kamu nggak bunuh diri?"
"Ya nggaklah! Kan aku gak bodoh kaya kamu" Lea menjawab dengan nada ejek, dan mengakhiri kalimatnya dengan menjulurkan lidah.
"Bukan aku yang bodoh Le, tapi cinta" Arden berbicara dengan suara rendah, dan tertawa ringan-menertawakan kebodohannya sendiri. Ia kemudian mengambil langkah pendek, kembali memangkas jarak antara dirinya dan anak gubernur kesayangannya, lalu dengan pelan membawa Lea ke dalam pelukannya yang hangat.
"Le, aku gak akan lagi janji apa pun sama kamu. Aku hanya punya harapan besar bahwa hari-hari ke depan, semua rasa sakit yang kamu rasain kemarin gak akan pernah kamu rasain lagi. Aku harap, aku akan punya banyak hari untuk melakukan penebusan atas semua yang udah aku lakuin ke kamu"
"Aamiin" Lea menjawab ringan sambil mengeratkan pelukannya. "Den, membuat kesalahan dalam sebuah hubungan adalah hal wajar. Setelah apa yang terjadi, aku juga gak berharap kamu akan mencintai aku dengan perasaan bersalah, karena bagaimanapun, aku juga berhutang maaf sama kamu. Aku gak tahu bahwa kamu juga diperlakukan secara nggak adil di sini"
Lea menjauhkan badan dari Arden, namun masih tetap membiarkan pinggangnya dikuasi oleh kungkungan lingkar tangan laki-laki tersebut. Posisi Lea saat ini, menyebabkan mereka berdua bisa lebih leluasa untuk menjelajahi mata satu sama lain.
"Aku tahu, ke depan akan ada banyak masalah yang akan kita temui, tapi aku harap, masalah itu akan bikin kita bisa tumbuh bersama, bukan saling membunuh dan menjauh seperti kemarin. Meskipun di dunia ini gak ada yang pasti, tapi aku harap kita bisa memastikan bahwa semua kesalahan yang udah kita lakuin gak akan pernah kita ulangin lagi"
Arden tersenyum teduh, lalu berujar "Di dunia ini emang gak ada yang pasti Le, karena yang pasti ya cuma cintaku padamu"
"GOMBAAALL!!!" Lea merona sambil memukul dada Arden. Sesaat kemudian jantungnya bergemuruh karena Arden mengecup keningnya dengan sangat lembut, dan penuh kasih.
Sebenarnya, saat kamu mencintai seseorang, kamu tidak akan pernah memiliki pilihan lain selain terus mencintai. Karena meskipun kamu memiliki 100 atau bahkan 1.000 alasan untuk meninggalkannya, pada akhirnya kamu tetap akan berusaha mencari 1 alasan saja, untuk tetap bertahan. Tidak peduli seberapa bahaya 1 alasan itu, tidak peduli seberapa bodoh alasan itu, percayalah, kamu akan tetap memilih 1 alasan itu, jika kamu benar mencintainya.
"Den, perasaan kok kita drama banget ya?"
"HAHAHAHA" Tawa Arden pecah seketika saat mendengar Lea mengatakan kalimat barusan dengan nada setengah jijik. Ya, gimana ya, kadang kala saat perasaan mengambil alih tugas logika, kita tidak akan bisa mengendalikan banyak hal konyol yang akan terjadi di hidup ini.
Namanya juga cinta, banyak bodohnya, banyak nangisnya, tapi bahagianya juga sepadan. Sangat sepadan.
Adakah seseorang yang juga kamu cintai dengan penuh kebodohan?
BERSAMBUNG
Thanksluv
Nona ❤
KAMU SEDANG MEMBACA
90 Days (Tamat)
HumorArden Putra Wijaya terjebak dalam hubungan palsu dengan Ileana Maheswari selama 90 hari, karena suatu skandal yang mengancam karir mereka berdua dan menyebabkan kesalah pahaman besar di masyarakat. Kira-kira mampukah mereka menyelesaikan skandal yan...