33 - Keputusan Terbaik?

7.1K 882 48
                                    

Arden memandang sebentar ke arah Gerald yang baru saja masuk ke apartemennya. Dia tidak berniat menyapa abang sepupunya, karena sedang dalam mode malas berbasa-basi. Jangankan menyapa orang, untuk menenangkan hatinya sendiri saja, Arden bahkan tidak mampu.

"Den, sudah makan siang belum?" Melody yang ternyata ikut datang, masuk sambil menenteng satu kresek beriisi makanan berseru heboh. Namun, kehebohan gadis itu, tidak membuat !Arden tertarik untuk memberikan jawaban. Ia membiarkan saja kekasih abangnya mengekor pada abangnya yang kini sudah duduk di sofa sambil menatap dirinya penuh intimidasi.

"Mas ngobrol aja, aku siapan makanan buat kita" Melody mengatakan kalimat barusan dengan setengah berbisik, namun bisa dengan jelas didengar oleh Arden. Setelah itu, Melody terlihat berjalan menuju dapur, ini memang bukan kali pertama baginya memasuki apartemen Arden, sehingga tidak heran jika dia sudah sangat akrab dengan tata letak berbagai ruangan.

"Bukannya lo yang mutusin buat putus?"
Suara berat Gerald yang terdengar penuh nada idak suka membuat Arden pada akhirnya mau tidak mau membetulkan posisi duduknya hingga benar-benar saling berhadapan dengan abang sepupunya. Arden tidak bisa berbohong bahwa saat ini ia sudah sanngat terintimidasi. Aura Gerald yang senang berkuasa dan tidak suka dibantah terlalu kuat untuk dia sangkal. Dan jika Arden boleh menebak, sepertinya Gerald sudah mendengar sebagain cerita dari Anita.
Selain itu, mungkin Gerald kesal karena beberapa hari ini Arden lebih memilih mengurung diri di apartemen dan mengabaikan semua orang.

"Yakin, gak akan mau cerita?"

"Mami dia nggak setuju" jawab Arden pada akhirnya

"Lalu, hal itu bisa bikin lo berhak buat jadi laki-laki brengsek?" nada sengit terasa kental mengiring setiap kata yang baru saja diucapkan oleh Gerald. Bukannya apa-apa, Gerald hanya tidak ingin Arden menyakiti dirinya sendiri seperti ini. Gerald juga takut Arden melakukan kesalahan, sebagaimana yang dulu pernah ia lakukan pada Melody.

"Terus gue bisa apa Bang?"

"Lo bisa jelasin ke dia baik-baik, atau lo bisa milih cara yang lebih baik buat mutusin Lea. Nggak harus dengan cara seperti kemarin"
Arden tahu, apa yang dikatakan oleh Gerald adalah hal benar. Dan dia tidak bisa berbohong pada dirinya, bahwa jika ia melakukan hal itu, seharunya Lea tidak perlu tersakiti seperti hari kemarin. Tapi, apa dia punya pilihan itu? Tidak!

"Gue punya hak apa?"

"Hak apa?"

"Gue punya hak apa Bang, sampai gue boleh negejelasin semuanya ke Lea? Abang tahu, dia adalah putri tunggal yang selalu saling menyangi dengan maminya. Selama ini dia punya keluarga utuh dan sempurna. Menurut Abang, bagaimana perasaan dia kalau sampai dia tahu semuanya? Menurut Abang, apakah hubungan ibu dan anak itu akan tetap harmonis seperti sebelumnya?"

Gerald diam, matanya mulai tenang menatap Arden yang berkca-kaca dan nampak frustasi.

"Gue bukan siapa-siapa Bang. Gue sangat nggak layak kalau harus dijadikan Lea, sebagai alasan hancurnya hubungan ibu dan anak dengan maminya. Nggak Bang, gue nggak layak" Gerald yang mendengar kalimat barusan diucapkan dengan parau oleh Arden kini dikuasi perasaan tidak terima. Ia paham bahwa Arden juga sangat tersakiti.

"Kalau putus dengan cara baik-baik, gue takut Lea akan tersiksa karena berada diantara pilihan gue atau maminya. Gue nggak mau Lea kesusahan dan tersakiti kalau harus terjebak di situasai tersebut Bang. Nggak, gue gak bisa liat dia merasakan itu.

Jadi, mau nggak mau, satu-satunya jalan dan pilihan yang gue punya adalah bikin dia benci sama gue. Seenggaknya, dengan begitu dia akan lebih mudah buat lupain gue, dia akan lebih cepat kembali ke kehidupan normal dan bahagianya sebelum ketemu sama gue"

"Lo salah Den!" Melody tiba-tiba bergabung pada obrolan.

"Sebesar apa pun cinta lo ke Lea, lo nggak pernah punya hak untuk ngambil keputusan buat dia. Bukan lo yang seharusnya memutuskan apakah Lea harus membenci lo, atau terus mencintai lo meskipun harus berjuang mati-matian buat dapetin restu dari Maminya! Lea yang berhak memutuskan Den, bukan elo!" Gerald meraih tengan Melody dan mengenggamnya, ia takut kekasihnya akan berbicara terlalu jauh. Bagaimana pun, saat ini kondisi emosinal Arden sedang tidak baik-baik saja.

"Kalo lo memang cinta sama dia, nggak seharsunya lo lakuin ini Den. Lo bahkan nggak tahu mana yang akan lebih membuat Lea sakit hati. Apakah berada di situasi dilema seperti yang lo takutkan tadi, atau diputuskan dengan cara yang paling tidak masuk akal, dan paling tidak ia duga sebelumnya"

Arden mengepalkan tangan kuat-kuat, semua kalimat yang diucapkan oleh Melody terasa sangat masuk akal. Diam-diam, ia takut Lea saat ini justru sedang sangat tersakiti karena apa yang telah ia lakukan. Diam-diam ia takut, bagaimana jika pada akhirnya keputusan yang ia ambil adalah sebuah kesalahan besar yang akan ia sesali seumur hidup?
0
Hening menggantung diantara mereka bertiga. Gerald menepuk-nepuk pelan lengan atas Melody, berusaha menenangkannya. Melody memang seseorang yang cukup sensitif dengan perasaan, hal-hal seperti ini sangat mampu membuatnua tersulut emosi dengan cepat.
Sedangkan Arden, kini terlihat semakin frustasi. Ia nampak semakin bingung.

"Gue minta maaf. Mungkin gue keterlaluan, tapi gue udah anggap lo sebagai sahabat baik gue Den. Jadi, saat lo salah gue merasa punya kewajiban buat negor lo" Melody kembali menyabung kalimat karena merasa bersalah pada Arden yang kian terlihat semakin keruh.

"Gapapa Mel. Gue tahu, gue emang salah"

Gerlad menghela napas, ada perasaan tidak terima yang sangat besar menguasai dirinya. Mengapa Arden harus menghadapi situasi seperti ini? Apa yang sudah Arden lakukan sampai dia tidak layak bersanding dengan Lea?

"Elo tau, apa alasan Mami Lea gak nyetujuin hubungan kalian?" Akhirnya Melody adalah orang yang menyuarakan keresahan Gerald.
Namun, pertanyaan Melody lebih dulu dijawab dengan gelengan oleh Arden. "Gue gak tahu pasti apa alasannya..."

"Tapi?"
Arden mengarahkan tatapannya pada Gerald yang bertanya menuntut jawaban. "Mungkin, karena keluarga gue"

Gerald dan Melody menatap tidak mengerti

"Maksud gue, mungkin karena gue udah gak punya nyokap. Mami Lea pernah bilang dia keberatan dengan kondisi keluarga gue yang gak lengkap.."

"WHAT THE FUCK! Itu orang gila, apa gimana?"

"Mas!" Melody menenangkan Gerald yang terlihat sulit mengendalikan emosi. Namun di sisi lain, ia juga sangat mengerti mengapa Gerald sampai memberikan respon demikian. Ia jelas merasa harga dirinya terluka, bagaimana pun, Arden adalah sepupunya, adalah keluarganya. Ia jelas tidak terima jika Arden diperlakukan tidak adil seperti ini.

"Yaudahlah Bang, toh hubungan gue sama Lea juga sudah selesai. Mungkin kita emang gak jodoh" Arden berusaha legowo, berusaha menenangkan abang sepupunya, juga dirinya.

"Lo yakin keputusan lo gak salah? Lo yakin bisa lepasin Lea?"

Kali ini Arden kembali diam seribu bahasa, tidak bisa memberika jawaban apapun pada pertanyaan yang diajukan Melody. Karena jika boleh jujur, sebenarnya dia juga meragukan keputusan yang telah ia buat. Ia juga tidak yakin apa dia benar-benar sanggup melepaskan Lea dengan sepenuhnya?

BERSAMBUNG

Sejujurnya masih agak parno mau nulis, karena minggu lalu pas aku update soal Melody yang tiba-tiba dapet telpon dari Semarang karena bapaknya sakit, eh besoknya di dunia nyata hal itu bener kejadian :( Aku tiba-tiba dapet telfon papa sakit dan harus pulang :(

Harusnya minggu ini ada up 3 kali, tapi karena situasi tiba-tiba, lagi-lagi tidak terduga, akhirnya baru bisa up hari ini. Maafkan ya 😭

90 Days (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang