🤍 SK 9 • Dua Anak Kucing Lucu 🤍

69 10 0
                                    

Sewajarnya saja, karena yang selalu Hadir tak mesti harus menjadi Takdir
♡♡♡





Alana POV

Bibi menghampiri ku dan menepuk bahu ku pelan, "Non, mau bibi buatkan lemon tea?," tawar bibi setelah kepergian papa. "Boleh, makasih bi," Ucapku memegang tangan yang tak lagi muda itu, bibi tersenyum dan menuju dapur.

Aku melihat ponsel ku, ada pesan masuk dari Dareel. Tunggu... sejak kapan aku menyimpan nomer nya, ah iya dia sendiri yang menyimpannya.

Dareel
Maaf saat kamu bangun tadi aku nggak ada, aku ada urusan bentar. Nanti sore mau jalan-jalan nggak?

Dareel
Aku jemput jam 4 yaa, ada kedai martabak telor di persimpangan jalan. Ingetkan itu langganan kita waktu dulu, sekarang anaknya yang nerusin usaha itu.

Biar pun cicitnya sekalipun yang meneruskan usaha martabak itu aku tidak peduli, aku melempar ponsel ku ke sofa dan berbaring disana.

Drrrttt... ponsel ku berbunyi, aaah kenapa semua laki-laki ini menyebalkan. Papa, Dareel dan satu lagi makhluk aneh ini, Vano.
"Al nanti malam aku jemput jam delapan ya, jangan lupa pakai gaun yang aku kirim kemarin oke," Ucap Vano di sebrang sana. "Hemm," balas ku malas, "Baiklah, aku mencintaimu," terdengar suara kecupan dari Vano, dan langsung ku matikan panggilan telfonnya. Mencintai ku? Dia hanya mencintai dirinya sendiri.

Aaahh aku malas sekali hari ini, aku mengecek ponsel ku dan menelfon Nattali.
"Hallooo, benar ini dengan Nattali? Calon nyonya Dion Adelard, apa kabar? Sepertinya anda sedang sibuk sekali akhir-akhir ini," Ucap ku menggoda Natt.

"Berhenti menggoda ku Alana, ya aku sibuk tapi tidak sebanding dengan kesibukan Dion. Ada apa,? Hari ini aku tidak ada jadwal apapun, mau keluar denganku?," Ajak Nattali. "Kemana?," Tanya ku semangat, aaah aku sangat ingin berbelanja.

"Terserah, kemana saja. Satu jam lagi aku jemput, bersiap-siaplah," Ucap Nattali. "Siap" akan ku manfaatkan waktu kali ini untuk sejenak melupakan semuanya.

Dareel POV

Sejak tadi pagi hingga sekarang aku berada di apartement Edwin. Kami bertiga terlibat sedikit masalah dengan Rion dan teman-temannya. Terutama Edwin dan Rion yang selalu menjadi saingan di ajang balapan liar itu.

"Lo bisa gak si nyuk nahan dikit emosi lo, perasaan di antara kita bertiga ini cuma lo deh yang paling tenang tapi akhir-akhir ini gue liat lo makin absur," cerocos Dion panjang lebar, "muka lo tuh yang absur," Edwin melempar kacang kearah Dion.

"Gue juga bingung kenapa akhir-akhir ini gue jadi lebih sering ngerespon hal-hal yang gak penting, mungkin karna kesalah pahaman ini menyangkut nyokap gue jadi gue lebih sensitif aja," Jelas Edwin membuka plester untuk luka di pelipisnya.

Ya, kami bertiga tadi sempat saling memukul dengan teman-teman Rion. Tapi tidak berlangsung lama karna mereka sudah babak belur lebih parah dari pada kami, entalah Edwin memukul mereka seperti orang kerasukan.

"Nih betadin, bibir lo sobek," Dion memberi ku betadin, ah sial kenapa mereka memukul wajah ku.
"Win... lo belum cerita ke kita yang sebenernya, apa masalah lo sama Rion yang menyangkut nyokap lo?," Tanya Dion pada Edwin.

Aku menepuk pundak Edwin, "Gue gak yakin bisa cerita masalah ini ke kalian, gue sendiri gak percaya sama semua ini. Ini terlalu rumit," Ungkap Edwin. Jujur, ini baru kali pertama aku melihat Edwin seperti ini. Dulu Edwin pernah ada masalah tapi dia tidak oernah selemah seperti sekarang.

"Kalau sulit, gapapa lo jangan cerita dulu. Kita bisa ngerti keadaan lo, mungkin ini emang rumit tapi lo punya kita kan. Gue sama Dion udah kayak abang lo kan? Gue sama Dion bisa lo andelin," Ucap ku menenangkan Edwin.

Sekian Kalinya [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang