Prologue: First Memory

12.6K 725 28
                                    

This is a bxb fanfic with mpreg and mafia contents.

You've been warned.

============

Jeonghan's Memory

Our first meeting that night....

Saat itu bulan menghias angkasa. Di bawah pancaran sinarnya aku melangkah, sesekali melirik ke arah garis horizon yang bersinggungan dengan permukaan sungai. Angin semilir berembus, menyapu kulitku dengan hawa dinginnya. Terpaksa kurapatkan jaket parkaku, dan kupercepat langkah kakiku sambil membayangkan selimut tebal yang siap menanti di ranjang rumah.

Musim dingin akan segera tiba. Musim yang tidak kusukai karena selalu menghambatku beraktivitas di pagi hari. Mungkin bagi segelintir orang, musim dingin indah dan memesona. Salju putih yang menumpuk di sepanjang jalan, atap, dan kebun rumah mereka justru menjadi pemandangan yang dinanti-nantikan setiap tahunnya. Mereka akan mendekam di balik selimut, atau menyeduh teh hangat dan duduk bersantai di depan pemanas ruangan. Itu biasa dilakukan orang-orang berkecukupan dengan waktu melimpah. Tidak sepertiku, yang harus bangun sekitar pukul setengah lima subuh setiap hari, memasak sarapan seadanya, dan tak berdaya membasuh diri dengan air dingin.

Senyum pahitku tersungging ketika memikirkan kenyataan itu. Namun apa gunanya meratapi nasib yang tidak bisa diubah dalam sekejap? Aku percepat langkahku agar bisa segera mencapai rumah, kalau saja tidak kudapati sosok seseorang di sisi jembatan.

Baru kali ini aku berhenti melangkah karena melihat seorang pria tak dikenal. Bukan, bukan karena wajah tampannya, bukan pula karena postur tubuh tegapnya yang tampak mengintimidasi. Namun karena dia sedang memegang sebuah pistol.

Mungkin aku selalu disebut pemberani oleh banyak orang. Tidak takut menyuarakan pendapat, tidak takut menegur pelanggan menyebalkan di tempat bekerja, dan tidak pernah bertindak seperti seorang pengecut. Namun kali itu, memergoki seseorang menggenggam senjata api di tempat sepi begitu mudah merambatkan getaran ke sekujur ragaku. Setahuku hanya penjahat dan polisi yang leluasa membawa pistol. Karena pria ini tidak tampak seperti polisi, maka dia pasti seorang penjahat. Aku bergeming cukup lama, menimbang apakah sebaiknya berputar arah agar tidak harus melewati pria itu. Namun sebelum sempat menentukan, kudapati pria itu mengacungkan pistolnya ke samping. Tepat ke pelipis kepalanya.

Ini seperti adegan di banyak film, di mana seseorang hendak mengakhiri hidupnya jauh dari keramaian penduduk. Dan aku yang berdiri tak jauh dari tempat kejadian perkara punya pilihan untuk menghentikannya sebelum terlambat. Begitulah pikiran dramatisku menarik kesimpulan. Tanpa sadar kakiku bergerak sendiri, memangkas jarak di antara kami. Percayalah, tindakan itu mungkin adalah keputusan paling berani yang pernah kulakukan seumur hidupku.

Kuraih jas hitam pria itu dengan tangan gemetar. Kulihat wajahnya berpaling ke arahku. Dari jarak dekat, ketampanannya semakin saja kentara. Mata besar kelamnya menatapku sedingin es. Hawa menekan semakin kurasakan ketika berdiri di sampingnya. Jujur, aku takut. Melihat pistol yang dipegangnya melahirkan berbagai imajinasi seram dalam kepalaku. Namun semua sudah terjadi. Dia sudah melihatku. Jadi kupaksakan diri bersuara.

"Tolong...tolong jangan akhiri hidup anda di sini."

Suaraku jelas bergetar. Kalau saja kakiku yang lemas tidak kupaksakan untuk tetap berpijak, mungkin tubuhku sudah limbung saat ini. Kulihat pria itu menatapku lekat, masih dengan pistol yang mengacung ke kepalanya.

"Saya...saya tahu hidup ini berat. Tapi jika anda mati, akan ada orang yang menangisi kepergian anda. Pasti ada, meskipun hanya satu. Jadi tolong pikirkan kembali keputusan anda, tuan."

Saat itu aku merasa seperti seseorang yang sok tahu. Maklum, aku belum pernah berada dalam situasi semacam itu. Sialnya, pria di dekatku tak kunjung memberikan reaksi, mau tak mau memaksaku kembali berbicara.

The Next WinterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang