Chapter 31: Broken Promises

3.4K 363 35
                                    

Tamparan keras mendarat di pipi seorang pria. Tubuhnya terpelanting membentur tanah. Ngeri, hanya kata itu yang mampu menggambarkan penampilan mengenaskannya. Bunyi langkah kaki mengiringi erangan kesakitan pria itu. Seorang pria mendekat dengan senjata api di tangan kanannya.

Meski penuh memar dan lebam, si pria malang masih berusaha bicara dengan susah payah, "Bunuh saja aku, keparat...sampai kapan kau akan terus menyiksaku...?"

Seungcheol menghentikan langkahnya. Menatap pria babak belur itu tanpa menjawab.

"Ya...bunuh saja aku...dan aku akan menghantuimu setelah mati. Seluruh keturunanku akan membencimu....dan mereka...akan menyimpan dendam padamu..."

Namun bagaikan patung tak bernyawa, yang tak punya emosi dan jiwa, Seungcheol di depannya hanya menatap datar. "Ambil suratnya."

Wonho, pria malang itu, harus merelakan surat yang dipertahankannya mati-matian direbut paksa oleh seorang bodyguard. Dia tak kuasa lagi melawan, kedua kakinya serasa lumpuh.

"Bunuh aku, dan anak-anakku kelak akan membunuhmu..." tutur Wonho parau. "Mereka akan membunuhmu... dan keturunanmu...aku jamin itu..."

Detik itu, pandangan Seungcheol menggelap. Dia berjalan mendekat dengan pistol yang kini mengacung ke depan. Ke arah Wonho.

Wonho memejamkan mata. Siap menerima akhir hidupnya yang tragis. Namun siapa sangka dia masih bisa mendengar bunyi tembakan bergaung meski peluru panas tidak menembus tubuhnya. Justru didengarnya bunyi besi berdencing seiring jeratan di tangannya tiba-tiba mengendur.

Choi Seungcheol tidak membunuhnya dan malah membebaskan borgol tangannya.

"Jangan berlagak. Apa kau pikir anak-anakmu akan membalaskan dendammu di saat kau tidak pernah memerhatikan mereka?"

Wonho membuka mata, mendapati tatapan bengis Seungcheol yang tertanam padanya.

"Kau terlilit utang ratusan juta won hingga kedua anakmu terpaksa berhenti sekolah. Kau bilang mau menjual tanah, tapi malah menipu dan membawa kabur uang kami ke Jepang. Kau begitu senang berjudi dibanding memikirkan nasib anak-anakmu. Mereka akan lebih senang jika kau mati, keparat."

Sambil mendengarkan, bahu Wonho bergerak naik turun. Nafasnya sesak menyimak tiap kata yang Seungcheol tuturkan.

Seungcheol tersenyum sinis. "Tapi jika kau mati, tidak akan ada yang menafkahi mereka lagi. Jika kau mati, mereka akan menjadi yatim piatu. Sebenarnya bajingan sepertimu hanya menyusahkan saja baik hidup atau mati."

Sunyi menyergap. Setiap insan di sana hanya mendengarkan dan mungkin berpikir, betapa brengsek pria yang mereka hajar itu dan sudah sepantasnya dia mendapat ganjaran. Namun ketika Seungcheol berniat pergi, Wonho berseru parau, "Kau...tahu tentang anak-anakku?"

Seungcheol berbalik badan, melihat Wonhoo yang tengah memandangnya gelisah.

"Jungwoo...Sihyeon...mereka menghormatiku...mereka tidak akan tinggal diam jika tahu bagaimana ayah mereka mati..."

Sosok Wonho yang angkuh tak lagi terlihat. Biasanya pria itu akan menyulut emosi siapapun dengan bersikap arogan. Namun kini tampak rapuh dan kecil ketika kedua anaknya menjadi topik pembicaraan.

Seungcheol muak melihat pria di depannya terus mengoceh. Senyum penuh cemoohnya mengembang. "Kau mengingatkanku akan seseorang yang menjijikkan. Yang memanggil dirinya ayah, meski tidak bersikap seperti seorang ayah."

Dia mengeluarkan ponselnya, menekannya beberapa kali, lalu mengulurkannya ke arah Wonho.

Begitu suara isak tangis anak kecil mengalun dari ponsel itu, kedua mata Wonho langsung melebar seperti hendak meloncat keluar. Tampaknya suara anak kecil itu terlalu familiar untuknya.

The Next WinterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang