Chapter 33: Is it Goodbye?

2.5K 251 31
                                    

Kediaman megah itu tak lagi sama. Bahkan rasanya rumah hantu pun tak seangker itu. Di lorong, di ruang tamu, bahkan di tangga, tubuh tergeletak bagai mayat. Bagai tak bernyawa, Chan berbaring di kamarnya dalam posisi terlentang. Sungguh seperti baru saja terjadi pembantaian tak berdarah di rumah itu.

Setiap meter Jeonghan melangkah, setiap kali pula nafasnya tersendat. Keringat dinginnya menetes, pun bibirnya bergetar. Dipandanginya punggung Jisoo yang melangkah di depan. Tak sepertinya, Jisoo berjalan tenang bagai dewa kematian. Pistol di tangannya bagai sabit maut, dan jas hitamnya bagai jubah neraka. Menyadari bahwa sanderanya gelisah, dia menoleh ke belakang.

"Tenang saja. Mereka hanya tertidur," ujarnya, seolah tahu apa yang Jeonghan pikirkan.

Ternyata Jisoo memasukkan obat tidur ke dalam minuman Chan. Juga ke minuman yang dia sajikan untuk para asisten rumah tangga. Dia mengibuli semua orang demi bisa membawa Jeonghan pergi, bahkan rela berkelahi dengan penjaga rumah yang kebetulan tidak menyentuh minuman buatannya. Alangkah terkejutnya Jeonghan saat tahu bahwa ternyata Jisoo sangat mahir bela diri. Jisoo bisa melumpuhkan beberapa pria bertubuh kekar hanya dalam lima menit. Semuanya kini terkapar tak berdaya, dan Jisoo berhasil membawa Jeonghan masuk ke dalam mobil.

Meski tak melawan, Jeonghan jelas ketakutan. Dia masih tak percaya sekretaris suaminya itu ternyata menyimpan sisi gelap. Jisoo yang tampak ramah, tenang, dan baik hati, ternyata adalah musuh di balik selimut? Kenyataan itu membuatnya tak bisa tak merasa kecewa.

"Mengapa kau melakukan ini...?"

Jisoo melirik Jeonghan yang tampak gelisah di bangku penumpang, sebelum kembali mengarahkan pandangannya ke depan. "Akan saya jelaskan semuanya nanti."

Namun Jeonghan tak sabar menanti terlalu lama. "Kau...sungguh mata-mata ayah Seungcheol?"

Karena tak dijawab, Jeonghan mendesah berat dan bersandar lemah pada jok mobil. Kepalanya menggeleng resah. "Aku tidak percaya. Kau pasti pura-pura."

"Apa anda lebih percaya saya dibanding Tuan Seungcheol?"

Diamnya Jeonghan menunjukkan jawabannya. Rupanya dia ragu. Jika Jisoo memang berpura-pura, untuk apa sampai susah payah menculik Jeonghan dan menimbulkan kekacauan? Namun ada satu hal yang entah mengapa membuatnya masih mengenggam sejumput kepercayaan pada Jisoo. "Jika kau mata-mata ayah Seungcheol, kau pasti sudah lama membunuhku."

Naif. Begitu pikir Jisoo mendengar jawaban Jeonghan. Namun dia hanya tersenyum dan tidak mengatakan apapun lagi. Dia menyetir dalam kesunyian mencekam.

Berulang kali ponsel Jisoo berdering, namun tak kunjung diangkatnya. Jeonghan menduga itu adalah Seungcheol. Sempat terpikir olehnya untuk merebut ponsel itu, namun sulit mengingat kondisinya sebagai sandera. Lagipula dia harus memikirkan nasib bayi di dalam kandungannya. Jika gegabah, maka bukan hanya dirinya yang akan celaka.

Pada panggilan kelima, Jisoo baru mengangkat ponsel bising itu. Senyum lembutnya terlukis tatkala berkata, "Tuan Muda, apa anda akan datang sekarang?"

Terembus hela nafas berat Seungcheol di seberang. "...Jisoo, tolong jangan lukai Jeonghan."

"Tentu saja. Asal anda kembali dan berjanji tidak akan menemui ayah anda."

"Ayahku menyuruhmu mengancamku? Begitukah?" Seungcheol bertanya, setengah membentak.

Bibir Jisoo mengembang kecil. "Saya punya alasan. Dan meski anda sudah curiga dan melakukan konfrontasi terhadap saya kemarin, anda tetap tidak bertindak apapun dan membiarkan saya lepas. Tapi sungguh...saya tidak jamin Tuan Jeonghan akan selamat. Apa anda yakin akan berlama-lama dan tidak segera menghentikan saya?"

The Next WinterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang