Chapter 2: Debt

4.9K 576 50
                                    

Keheningan mencekam menaungi tempat itu. Gelapnya ruangan semakin memperburuk suasana. Dua insan yang bertentangan saling menatap nyalang. Meski gelap, dapat mereka rasakan tajamnya pandangan yang tertuju pada satu sama lain.

Selang beberapa detik, terdengar dengusan nafas pria yang mengacungkan pistol. Dengusan itu lambat laun berganti tawa. Si pria misterius tergelak seperti baru saja menyaksikan adegan komedi. "Ah, tidak seru. Kenapa kau tidak pernah tampak terkejut?"

Memang benar. Meski seseorang menodongnya, Seungcheol tetap berdiri tenang. Merasa tiada lagi ancaman bahaya, dia menekan tombol lampu di dekat mereka. "Apa yang kau lakukan di sini tanpa seiizinku?"

Pria bertubuh jangkung di dekatnya masih tertawa. Kedua matanya menyipit akibat tergelak serta terpapar sinar lampu yang baru menyala. "Aku hanya ingin memberimu surprise. Bisakah kau memakluminya sebagai bentuk kerinduan adikmu yang baru saja kembali dari luar negeri ini?"

Seolah tak acuh, Seungcheol membuka jasnya sambil melangkah menuju ruang tamu. "Sudah berapa bulan tidak melihatmu, kau semakin menyebalkan."

Seokmin, adik kandungnya itu, mengekornya sambil memutar pistol dengan satu tangan bak profesional. "Kau sendiri masih membosankan. Mengapa menolak wanita secantik itu mentah-mentah?"

"Kalau kau tertarik, dekati saja dia. Tapi asal kau tahu, dia seorang penjilat."

Senyum terulas di bibir tipis Seokmin. "Aku tidak tertarik pada perempuan menor itu. Aku hanya tertarik dengan orang yang bisa merebut hatimu. Adakah?"

Langkah Seungcheol seketika terhenti. Dia berbalik dan menatap datar lawan bicaranya. "Jika ada, apa yang akan kau lakukan?"

"Hmm..." Seokmin menjatuhkan tubuhnya pada sofa ruang tamu. "Aku hanya penasaran jika ada yang bisa meluluhkan kakakku yang dingin seperti es ini."

Entah ucapan itu gurauan atau bukan, namun Seungcheol tidak berniat membalasnya lagi dan memalingkan wajah. Gelagat itu membuat Seokmin kembali melepas tawa. "Hei, jadi ada atau tidak? Kalau belum ada, aku bersedia mencarikan calon untukmu."

"Pulanglah. Atau ayah akan merecokiku karena kau langsung mampir ke sini dan bukan menemuinya."

Mendengar kata 'ayah', sinar mata Seokmin meredup. "Biar saja. Pria tua itu sedang sibuk dengan simpanan barunya."

Tiba-tiba dering ponsel menyeruak dari saku celana Seokmin. Setelah memeriksa layarnya sebentar, sang adik dengan cepat mematikannya sambil mengeluh. "Sayang sekali ucapanmu benar. Aku harus pergi menemui tua bangka itu sekarang," ucapnya malas.

Seungcheol hanya diam mengamati Seokmin yang beranjak menuju pintu keluar. Namun sebelum membuka pintu, adiknya itu berseru, "Saat aku berkunjung lagi, bawalah seseorang untuk dikenalkan sebagai calon kakak iparku."

Lalu pintu tertutup kembali, menyisakan Seungcheol seorang diri di tengah keheningan apartemennya.

Calon kakak ipar, katanya? Seungcheol tersenyum miris memikirkan perkataan itu. Seokmin jelas tahu bahwa dia sudah lama tak berkencan. Pernah beberapa kali dia menjalin hubungan, namun semua berakhir singkat dan buruk. Sering pula dia menerima pernyataan cinta, namun tak sekalipun dia tergugah karenanya.

Seungcheol membuka jendela ruang tamunya dan menengok ke luar. Salju sudah menumpuk di jalan raya. Angin semilir berembus masuk dari celah ventilasi, menusuk permukaan tubuhnya dengan udara dingin. Entah sejak kapan dia terakhir kali menggigil di tengah bekunya kota karena cuaca musim dingin.

Mungkin benar, dia memang membutuhkan kehangatan di dalam hidupnya.

*****

Salju turun lebat ketika Jeonghan melangkahkan kaki menyusuri trotoar jalanan. Dia baru saja mengakhiri shift-nya hari itu pada pukul sembilan malam. Perutnya sudah bergemuruh menahan rasa lapar sejak sore. Sambil berjalan di tengah cuaca dingin, tiba-tiba seseorang memanggilnya dari belakang. "Permisi, Tuan."

The Next WinterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang