Chapter 12: A Vow

6K 569 46
                                        

Jeonghan sadar dia telah menjual hidupnya. Sejak dia hampir menukar tubuhnya dengan uang, tekad itu sudah tertanam lekat. Bagaimanapun caranya dia akan menebus keselamatan Jihoon, bahkan dengan menanggalkan harga dirinya.

Menikah dengan Seungcheol tidaklah mengubah kenyataan. Dia hanya menukar nasibnya dengan nasib yang lebih baik, namun hidupnya tetap menjadi milik orang lain. Satu-satunya pilihan adalah pasrah menyerahkan segalanya kepada pria yang telah menukar uang dengan tubuh perjakanya, dengan hatinya yang belum tergenggam itu.

Namun aneh. Malam pertama tanpa cinta dan kewajiban semata ternyata tidaklah seburuk yang dibayangkannya. Dari sejak tahta matahari senja digeser kehadiran sang rembulan, dia terus berbaring pasrah di atas ranjang. Sekujur tubuhnya bergetar dan menggeliat resah sebagai reaksi akan sensasi yang melanda. Bibirnya tak kuasa melepas desahan tatkala tangan pria di atasnya dengan lihai menjelajah. Pria itu mencumbunya mesra, meninggalkan jejak kemerahan pada kulit mulusnya, seakan menandai tubuh itu miliknya. Meski peluh menetes, air mata mengalir, dan rasa lelah berkuasa, mereka tak menunjukkan tanda-tanda berhenti. Hasrat sudah terlalu kuat meraja.

Untuk pertama kalinya, Jeonghan membiarkan seseorang mengambil kontrol atas raganya. Namun seberapapun memalukan penampakan dirinya saat itu, dia merasa Choi Seungcheol tetap memperlakukannya dengan manis. Begitu sabar caranya menyentuh. Begitu terjaga dan hati-hati, hingga Jeonghan tidak merasa takut dan percaya bahwa dirinya akan baik-baik saja.

Di saat Jeonghan merintih pilu, Seungcheol akan memeluknya, membelai wajahnya, melakukan tindakan apapun yang membuatnya melupakan rasa sakit. Hingga tanpa sadar rasa sakit itu lambat laun berganti menjadi gairah.

Sekali, dua kali, hingga tak terhitung berapa kali dirinya mencapai puncak kenikmatan. Sensasi baru itu terlalu kuat mengguncang. Dan jika boleh jujur, kepuasan fisik itu membawa rasa takut sekaligus sukacita. Sebelum kesadarannya menipis seiring rasa lelah dan kantuk berkuasa, Jeonghan kembali dimanjakan dengan kecupan lembut serta dekapan erat. Dan tak ketinggalan, sebuah bisikan hangat yang berbunyi 'tidurlah'.

Bagaimana mungkin dia bisa menganggap hubungan itu adalah kewajiban semata ketika mereka bercinta layaknya sepasang pengantin baru? Tak ada sesal, tak ada kekecewaan. Bahkan jika Jeonghan bisa mengulang waktu, dia tetap akan menjatuhkan pilihannya untuk masuk ke dalam kamar dan membiarkan Seungcheol mencumbunya.

Tak hanya malam itu, mereka mengulanginya di malam berikutnya. Berkali-kali memanjakan diri dengan hasrat, membiarkan dunia terlupakan dan terabaikan sejenak.

-----------

Seokmin mengetuk pintu sebanyak tiga kali. Satu tangannya mendekam di dalam kantong celana jinsnya, sementara tangan satunya baru dia endapkan setelah mengetuk.

Beberapa saat kemudian pintu pun terbuka, menampakkan sang pemilik ruangan dalam balutan bathrobe putih. Rambut hitamnya sedikit acak-acakkan, dan harum citrus sabun penginapan mengurai dari tubuhnya. Kedua mata besarnya setengah menggantung seperti baru saja terbangun, dan dia menatap Seokmin tanpa berkedip.

"Hei," Seokmin segera memulai percakapan karena tahu sang lawan bicara merasa terganggu dengan kedatangan mendadaknya. "Aku tahu ini sudah tengah malam, tapi ada yang harus kusampaikan padamu."

Seungcheol menyilang kedua tangannya di depan dada, lalu bersandar pada terali pintu untuk menanti penjelasan.

"Ayah meneleponku," pungkas Seokmin. "Dia bilang dia sudah meneleponmu berkali-kali, tetapi kau tidak mengangkatnya. Lalu dia menyuruhku memperingatkanmu."

"Maksudmu, mengancamku?"

Seokmin menahan nafas ketika suara berat sang kakak mengalun. "Memperingatkanmu. Well, dia sepertinya tahu kau membawa kakak ipar berlibur. Dia bilang setelah kau pulang, kau harus membawanya bertemu ayah."

The Next WinterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang