Terkadang selembar uang berarti besar untuk seseorang. Jika punya selembar sepuluh ribu won, orang itu bisa mengenyangkan perutnya sendiri dalam satu hari. Namun di tempat lain, selembar uang bagai sehelai kertas putih yang bisa saja terlupakan. Kenyataan itu membuktikan betapa tak adil dunia bekerja. Ada segelintir manusia yang hidup bermandikan harta hingga tak akan menyadari jika uang sepuluh ribunya hilang. Orang seperti itu biasanya duduk di singgasana tertinggi dunia, melempar uang ke jalan di mana para rakyat jelata akan memungutnya untuk menyambung hidup.
Jeonghan merasa Seungcheol tak akan menganggap uang dua juta won berharga. Bagi Seungcheol, mungkin dua juta won sama seperti selembar uang sepuluh ribu. Mungkin dia cuma sekadar ingin menyumbang untuk orang seperti Jeonghan yang tampak malang dan menyedihkan. Pikiran itu meyakinkan Jeonghan bahwa tidak masalah jika dia menerima uang pria itu. Dia akan menganggapnya sebagai sedekah saja. Toh dia memang sangat membutuhkan uang, dan sepertinya mereka tidak akan bertemu lagi. Dunia yang mereka tempati ibarat surga di langit dan neraka di bumi, tidak mungkin ada jalan untuk menjadikan mereka lebih dari sekadar dua orang yang pernah bertemu. Jeonghan sudah memutuskan bahwa dia akan mengingat Seungcheol sebagai pria kaya baik hati yang pernah menolongnya. Itu saja.
"Kak, kepalamu baik-baik saja?" tanya Jihoon menyadarkan Jeonghan dari lamunannya.
Jeonghan segera memegang kepalanya yang diperban. "Tidak apa-apa. Tenang saja, sebentar lagi juga sembuh total."
Jihoon terus mengamati kakak sulungnya itu melipat pakaian di ruang tengah. Tatapannya memancarkan iba. "Lain kali kau harus hati-hati saat berjalan. Jangan melamun lagi."
Jeonghan hanya membalasnya dengan seulas senyum. Dia tak bisa memberitahu Jihoon kenyataan sebenarnya, bahwa kepalanya dipukul menggunakan botol bir oleh seorang pelanggan di tempat kerja. Jika tahu, adiknya itu pasti akan cemas setengah mati.
"Ngomong-ngomong, aku merasa belakangan para debt collector itu tidak kunjung datang. Apa kau membayar cicilan tepat waktu?"
Sambil menumpuk pakaian yang telah dilipatnya, Jeonghan membalas singkat, "Begitulah."
"Kalau benar, dari mana kau mendapatkan uang? Biasanya kau suka telat membayarnya."
Aktivitas Jeonghan seketika terhenti. Namun hanya selang beberapa detik, dia melanjutkannya lagi. "Aku mendapat bonus. Karena pekerjaanku bagus," tuturnya. Dia memang tidak berbohong, uang itu dia dapatkan karena Seungcheol menilai hasil 'pekerjaannya' memuaskan.
Jihoon tidak berkomentar lagi dan menyalakan televisi. Di layarnya, terpampang sebuah tayangan di mana beberapa selebriti sedang asyik bertamasya menaiki yacth. Kegiatan itu menggugah ketertarikan Jihoon sampai dia tak berkedip menontonnya.
"Orang-orang itu enak sekali ya, hidupnya berbanding terbalik dengan kita."
Komentar itu sekali lagi merebut perhatian Jeonghan dari aktivitasnya. Jihoon memasang ekspresi iri sambil menatap layar televisi. "Kalau saja almarhun ayah dan ibu tidak meninggalkan utang, mungkin kita bisa sesekali bertamasya juga meski tidak semewah itu."
Rasanya tak pernah Jeonghan merasa terluka akan ucapan yang tidak tertuju pada dirinya sendiri. Almarhum kedua orang tuanya mungkin memang penyebab kesengsaraan hidup mereka. Namun ketika Jeonghan mengingat bagaimana almarhum ayah dan ibunya sungguh menyayanginya sepenuh hati, dia tak bisa tak merasa pilu. "Jangan begitu. Ayah dan ibu juga tidak ingin membuat kita sengsara. Mereka meninggal karena kecelakaan setelah baru saja tertipu dan merugi ratusan juta won. Kau ingat itu, kan?" ucapnya dengan nada tegas.
Jihoon bungkam. Dia sadar intonasi suara Jeonghan berubah. Merasa tak ingin memperpanjang percakapan, dia hanya menghela nafas dan berlalu menuju kamarnya.
![](https://img.wattpad.com/cover/278466675-288-k20707.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
The Next Winter
Romance"Akan kubayar seluruh utangmu, dan kau hanya perlu melakukan satu hal: menjadi pendamping hidupku." Jeonghan tahu hidupnya menyedihkan. Yatim piatu, terlilit utang, dan harus menebus biaya operasi sang adik yang tak sedikit jumlahnya. Sementara Seun...