Chapter 9: Our Beginning

5.1K 555 51
                                    

Waktu kecil, Jeonghan sering menjadi saksi mata kemegahan dan kemeriahan sebuah pesta pernikahan. Kedua mempelai saling mengucap sumpah di depan altar berangkaian bunga, para fotografer mendokumentasikan momen bersejarah itu dari segala sisi, lalu para tamu undangan akan bersukacita menyemarakkan hari bahagia sang pengantin. Dulu dia selalu senang menyicipi berbagai kudapan lezat yang tersaji sambil memerhatikan hiasan-hiasan indah yang memenuhi seisi ballroom pesta.

Namun ternyata kenangan itu sama sekali tidak terjadi dalam acara pernikahannya sendiri. Tak ada rombongan tamu, hanya ada Jisoo dan Jihoon yang merangkap sebagai fotografer dadakan. Tidak ada karangan bunga, tidak ada confetti, benar-benar sederhana.

Namun meski pernikahan mereka berlangsung sederhana, Jeonghan sama groginya seperti pengantin pada umumnya. Dia berdiri kikuk menghadap Seungcheol, yang tampak tenang dan terus memandanginya tanpa henti sejak mereka resmi menjadi sepasang pengantin.

"Kak Han, jangan tegang," seru Jihoon khawatir melihat kakak kandungnya itu berdiri bagai patung. Jeonghan berusaha mengatur nafas sambil sesekali membasahi bibirnya. Bukannya merasa simpatik, Seungcheol di depannya tampak terhibur menyaksikan gelagat itu. Dia akhirnya menggenggam tangan Jeonghan dan berbisik lembut, "Tenanglah."

Bisikan itu berhasil menenangkan Jeonghan. Kepalan tangannya mulai mengendur seiring kehangatan menjalari tubuhnya. Prosesi pernikahan pun berlangsung khidmat. Dari segala tahap yang mereka lalui, Jeonghan tak akan pernah lupa ketika waktunya tiba bagi mereka mengucap sumpah setia.

"Aku berjanji akan terus bersamamu sehidup semati, di kala susah dan senang, hingga maut memisahkan."

Mengucap kalimat itu memang tak memakan waktu lebih dari lima detik, tapi mempertaruhkan seluruh sisa hidupnya. Dia terpana menyaksikan Seungcheol mengucapkannya dengan begitu lancar, seolah pria itu tidak memiliki sedikitpun keraguan. Berbeda dengannya. Ketika gilirannya tiba, dia harus menarik nafas berulang kali sebelum suaranya mampu keluar.

"Aku juga...berjanji akan hidup selamanya bersamamu. Menemanimu hingga akhir hayat. Di kala susah maupun senang."

Betapa bergetar hatinya ketika bibirnya mengucap janji itu. Maklum, dia tak pernah mengatakan hal romantis semacam itu sebelumnya. Meski malu, namun dia rasakan perasaan tersentuh yang membuat kedua matanya berkaca-kaca. Entah apa penyebabnya.

Lalu keduanya menyegel janji itu dengan sebuah ciuman singkat. Dan begitulah bagaimana pernikahan mereka menjadi sah.

Setelah acara pernikahan berakhir, mereka berkumpul dengan Jihoon di parkiran. Adiknya itu tampak sangat sumringah memandangi mereka sembari terus mengucap "selamat!". Sementara Jisoo tampak sangat terharu dan ikut menyelamati mereka sampai kedua matanya berlinang air mata. Jeonghan merasa, meski pernikahan mereka tidak dihadiri banyak tamu, mereka tetap seperti pasangan pengantin berbahagia pada umumnya yang dihujani ucapan selamat.

"Kita akan ke mana sekarang?" tanya Jeonghan setelah berbincang singkat dengan Jihoon dan Jisoo.

"Pulang," jawab Seungcheol.

"Kalian pulanglah duluan. Aku harus pergi ke perpustakaan untuk meminjam buku. Lalu hari ini aku juga akan menginap di rumah teman," timpal Jihoon.

"Kau bisa pergi sendiri?"

"Tenang saja kak, aku sudah besar. Kau tidak perlu mengkhawatirkanku dan nikmati saja hari pertama pernikahanmu," goda Jihoon.

Pipi Jeonghan memerah semu. Sebelum dia berhasil mencubit lengan adiknya, Jisoo di dekat mereka menambahkan, "Tenang saja, tuan Jeonghan. Saya akan mengantar tuan muda Jihoon."

"Hah? Tidak usah! Aku bisa naik bis!"

"Biarkan Jisoo mengantarmu, karena di luar banyak penjahat," timpal Seungcheol, seketika membuat semua orang terdiam.

The Next WinterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang