Chapter 22: Until the End

3.1K 322 25
                                    

Suatu hari pada malam musim dingin, Jeonghan melewati sebuah taman. Di sana dia menemukan seorang kakek yang membawa tongkat dan mengayunkannya ke sana-ke mari. Dari gerak-geriknya, siapapun bisa menebak bahwa dia seorang tuna netra. Melihat betapa kebingungannya kakek itu, Jeonghan lantas terdorong untuk menghampiri. Ternyata si kakek kehilangan kunci rumahnya, sehingga Jeonghan membantunya mencari di sekitar taman.

Setelah berhasil menemukan kunci itu, Jeonghan akhirnya menemani sang kakek pulang. Karena hari sudah gelap dan salju sedang turun lebat, Jeonghan tidak tega meninggalkan kakek itu sendirian. Maka mereka melangkah berdampingan sambil berbincang ringan sepanjang perjalanan. Awalnya hanya sekadar basa-basi, lambat laun obrolan mereka larut semakin mendalam. Jeonghan bertanya mengapa si kakek berani pergi keluar sendirian dengan hanya bermodalkan tongkat kayunya. Kakek itu menjawab bahwa anaknya mencari nafkah di tempat yang jauh, dan dia tidak punya saudara untuk menemani. Lantas keterpaksaan membuatnya terbiasa menjalani hidup seorang diri.

Sampai pada satu titik kakek itu berkata, "Ada enaknya hidup tanpa bisa melihat," dan Jeonghan dibuatnya penasaran. Si kakek lanjut berkata, "Kau tidak perlu menyaksikan hal-hal mengerikan dan menyakitkan yang terjadi di sekitarmu."

Saat itu Jeonghan yang masih remaja tetap tidak memahami makna pernyataan itu dan tetap menganggap sang kakek memprihatinkan. Dia lantas bertanya, "Tapi kedua mataku bisa melihat. Apa maksud kakek aku harus menutup mata setiap saat?"

Si kakek tertawa. "Ya, tutuplah matamu. Ketika kau melihat sesuatu yang menyakitkan, kau hanya perlu menutup mata. Sama seperti ketika kau mengendus bau tak sedap, kau hanya perlu menutup hidung. Hidup itu mudah, nak. Jangan terlalu dicemaskan."

========

Jeonghan memiliki dua pilihan saat itu. Yang pertama, berbalik pergi. Bersikap seolah tidak pernah menyaksikan apapun. Dan yang kedua, berjalan menuju gedung apartemen di depannya untuk menemui Seungcheol sesuai rencana.

Berat. Kedua kakinya seakan menyatu dengan tanah. Menghadapi kenyataan itu sulit, terlebih ketika kenyataan itu berjalan sesuai dengan ketakutannya. Tapi apakah dia sebaiknya menutup mata? Mengabaikan segalanya seperti tak pernah melihat dan tak pernah mendengar, itukah jalan terbaik yang harus dipilihnya?

Tapi kedua kakinya tetap berpijak di sana. Enggan berbalik. Dia sadar bahwa apa yang kakek itu katakan memiliki satu kekurangan. Kakek itu tidak bisa melihat, namun Jeonghan punya sepasang mata yang masih berfungsi, yang bisa melihat cahaya di tengah kegelapan. Bisa mencari keindahan setelah tercemar pemandangan buruk.

Dia tak bisa terus menutup mata. Dia harus mencari jalan keluar.

Diangkatnya kedua kakinya untuk bergerak maju. Diterobosnya hujan gerimis yang masih awet turun. Dia gunakan kartu akses lama apartemennya untuk menaiki lift menuju kamar mereka. Lalu tanpa keraguan menekan bel dan menanti pintu dibukakan.

Tak sampai semenit penantiannya berlangsung. Seungcheol menyibak pintu agak kencang, membuat Jeonghan sedikit terperanjat. Lima, tujuh, sepuluh detik berlalu, namun belum satupun dari mereka bersuara. Baik dirinya dan Seungcheol menatap satu sama lain seperti menemukan kekasih yang telah lama hilang. Penuh rasa takjub, kebingungan. Dan rindu.

"Jeonghan...kenapa..." Seungcheol bergumam setelah keheningan bernaung cukup lama. Di samping keterkejutan, resah hadir menghias wajahnya.

Jeonghan bisa tahu apa yang ingin pria itu ucapkan hanya dari dua penggal kata itu. Dia menelan ludah dan menjawab, "Maaf aku mendadak datang. Aku ingin bertemu denganmu."

Belum pernah Jeonghan menyaksikan sinar mata Seungcheol berpendar seiring kelabu merambat. Sulit menggambarkannya, namun dia tampak seperti orang yang dihujani kabar buruk dan kabar gembira sekaligus.

The Next WinterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang