Chapter 10: The Dark Side

4.7K 513 19
                                    

Jauh di perbatasan kota, sebuah mobil melintasi jalanan bersalju. Segalanya serba putih, bahkan pepohonan di tepi jalan tampak seperti kapas putih menggumpal. Mobil itu berhenti tepat di depan sebuah gerbang besar. Klaksonnya berbunyi berkali-kali pertanda tak sabar, mendesak penjaga membukakannya. Setelah gerbang itu terbuka, si pengendara tak segan melajukan kembali mobilnya dengan kecepatan tinggi.

Mercedes putih itu akhirnya berhenti di depan sebuah mansion megah. Tempat itu dijaga ketat oleh beberapa pria berjubah hitam yang membawa sekumpulan anjing pemangsa bertampang sangar. Begitu si pengemudi turun dari mobil, sambutan penuh hormat langsung dituainya. "Selamat datang, Tuan Muda."

Seungcheol tampak tak acuh dan berjalan memasuki bangunan. Seperti biasa, langkahnya terasa berat setiap kali menginjakkan kaki di atas permukaan lantai granit kediaman itu. Dia bahkan tak suka baunya, bau usang yang berasal dari barang-barang antik sang pemilik rumah di sepanjang lorong. Karena sudah hafal benar dengan denah mansion itu, dia berjalan tanpa ragu menuju lantai dua. Mendatangi sebuah ruangan yang dijaga ketat oleh dua pria kekar berjas hitam, yang begitu melihatnya segera membukakan pintu.

Masuk ke dalam rumah megah itu sudah cukup menyiksa, apalagi menapakkan kaki di dalam kamar sang pemilik rumah. Seungcheol mendapati seorang pria berusia kurang lebih enam puluh tahun sedang duduk di sebuah sofa. Wajahnya cukup tampan meski beberapa helai rambutnya sudah memutih. Kemeja Oxfordnya hanya terkancing setengah, menampakkan guratan tato pada permukaan dada. Dia sedang merangkul mesra seorang gadis berpakaian minim, dan mereka sedang berbagi tawa ketika Seungcheol melangkah masuk, mengakhiri sesi percumbuan itu.

Sang pria paruh baya tampak senang mendapati kehadiran putera sulungnya. Dia tersenyum lebar, memamerkan deretan giginya yang rapi dan bersih. "Oh, anakku akhirnya datang."

Seungcheol berhenti di seberang sofa pria itu, menghadiahkannya tatapan setajam silet. Namun tampaknya yang ditatap tidak sadar akan hawa berbahaya yang mengancam dan malah berujar bangga pada gadis pendampingnya, "Lihatlah dia. Tampan, bukan? Mirip denganku, kan?"

Seungcheol tak sedikitpun tersenyum ketika kedua insan itu tertawa bersama. Dia malah berseru dengan nada memerintah, "Berikan."

Tawa sang ayah mereda, dan kini dia memandang Seungcheol dengan ekspresi terhibur. Dia mengambil cangkir tehnya yang terletak di atas meja. "Sabar dulu. Duduklah, kita bicara sambil minum teh."

"Aku tidak punya waktu berurusan denganmu."

Sudah terbiasa mendengar jawaban ketus itu, sang tuan rumah mendengus kecil sembari menuang teh ke dalam cangkir porselennya. "Tapi kau punya banyak waktu bermain dengan seorang jalang?"

Sering kali ucapan tak senonoh dan vulgar tercetus dari bibir pria itu, sampai Seungcheol kebal mendengarnya. Namun baru kali ini, di usianya yang menginjak dua puluh delapan tahun, dia merasa sangat geram dan ingin mencabik mulut pria itu. Menyadari sirat kemarahan putra sulungnya, Choi Dojin tergelak. "Jangan marah, jangan marah. Ayah hanya sesekali mengecek kondisimu. Katanya kau belakangan ini sering bertemu seorang pria berwajah manis..." ucapnya dengan nada menggoda.

"Dia bukan jalang," desis Seungcheol.

Choi Dojin menyesap tehnya sekali lagi sebelum meletakkan cangkir kesayangannya ke atas meja. Dia lalu mengangkat satu kakinya, menumpunya di atas kaki yang lain. "Jadi, kau menolak perjodohan dengan anak presdir Shin karena pria ini? Siapa dia? Kenalkan pada Ayah."

Jika tatapan bisa membunuh, mungkin sudah terjadi pertumpahan darah di sana. Sekali lagi Seungcheol menegaskan ucapannya, "Berikan."

Kedua ayah dan anak itu saling beradu pandang dalam keheningan. Kemudian Choi Dojin menarik salah satu sudut bibirnya. "Kenapa kau tidak mau menjawab? Apa jalang ini benar-benar spesial untukmu?"

The Next WinterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang