Waktu pulang sekolah tiba, Rara bergegas keluar dari kelas. Di depan gerbang sekolahnya Rara menunggu taksi online pesanannya yang tak kunjung datang.
"Ra?" panggil Juna yang tiba-tiba berada di sebelahnya.
Rara menoleh ke samping, namun ia acuh tak memperdulikan sepupunya itu dan kembali menatap lurus ke depan.
"Lo harus pulang sama gue,"
Lima kata yang membuat Rara mendengus kesal."Nggak, gue gak mau," tolaknya sambil menekankan semua perkataannya.
"Kenapa sih?" tanya Juna.
Rara melipat kedua tangannya di depan dada,"Lo bilang kenapa? Di saat hidup gue kayak gini lo kemana?"
"Ra, gue minta maaf."
"Gue gak nerima permintaan maaf lo," tegas Rara.
Taksi online yang di tunggu Rara akhirnya datang. Rara segera masuk ke dalam mobil meninggalkan Juna yang termenung di tempat.
Memang ini kesalahannya, harusnya Juna dulu mempercayai Rara dan membantunya keluar dari masalah kematian Zoya. Entahlah, Juna merasa bodoh tidak mempercayai Rara kala itu.
Juna masih penasaran, di mana Rara tinggal dan bersama siapa. Ia memutuskan untuk mengikuti taksi online yang sudah lumayan jauh dari hadapannya.
Jalanan siang kali ini begitu padat, mungkin karena waktu pulang pelajar bersamaan dengan para pekerja kantoran. Juna mendengus kesal karena dirinya terjebak macet.
Setelah satu jam lebih, jalanan sudah tak seramai tadi. Juna menghela napas lega, ia melanjutkan misinya mengikuti taksi yang di tumpangi Rara.
Juna sedikit terkejut ketika taksi yang di ikutinya berhenti di sebuah kantor polisi, apa tidak salah?
Melihat Rara turun dari taksi itu, Juna pun mengikuti Rara dari belakang dengan menjaga jarak cukup jauh.
Rara terlambat, sidang sudah selesai. Hakim telah memutuskan jika kedua tersangka di jatuhi hukuman selama 15 tahun, padahal tuntutan jaksa memvonis 20 tahun. Motifnya, karena ingin balas dendam. Aneh sekali bukan?
Karena pembunuhan ini tidak hanya satu orang yang menjadi korban, tapi lebih. Lima korban. Yang pertama Jonathan Mahaprati, ayah dari Olivia Siska Mahaprati. Yang kedua, Clarissa Syeta Mahaprati, istri Jonathan dan Ibu dari Olivia, Clarissa juga hantu yang sering menganggu Rara. Yang Ketiga Reoland Mahaprati, ayah dari Jonathan atau kakek dari Olivia. Keempat, Ezhard Bramantya Mahaprati, kakak Olivia. Dan yang terakhir, Olivia Siska Mahaprati yang jazadnya ralat kerangkanya baru di temukan kemarin dan sudah di makamkan beberapa jam yang lalu.
Haris Ganesha dan juga Ramazhaki sudah mendekam di balik jeruji besi. Mendapatkan hukuman yang pastinya tidak setimpal dengan yang di perbuat dulu.
Rara berlari kecil kearah Pak Pramuja dan Pak Sandi yang sedang membicarakan sesuatu.
"Permisi, maaf apa saya bisa bertanya?" tanya Rara kepada keduanya.
"Silahkan, apa yang ingin kamu tanyakan?" sahut Pak Pramuja sambil mempersilahkan Rara duduk.
"Motif pembunuhan ini cuma balas dendam? Tidak ada yang lain 'kah? Karena menurut saya ini cukup aneh dan tidak masuk akal."
"Balas dendam yang di maksud itu bukan tentang masalah kecil. Kata Pak Haris, Pak Jonathan telah menyaingi perusahannya dengan cara yang salah alias curang dan membuat perusahaan Pak Haris waktu itu bangkrut, semua karyawannya beralih bekerja di perusahan milik Pak Jonathan. Dan Pak Haris ngincer hartanya, Ya mungkin karena waktu itu ekonominya menurun jadinya dia memutuskan untuk merampok di rumah Pak Jonathan, dia bersama Pak Rama berhasil ngambil brangkasnya Pak Jonathan yang isinya uang 200 juta tapi pas itu Pak Jonathan mergokin aksinya dan karena Pak Haris tidak mau sampai Polisi tau akhirnya membunuh semua keluarga Pak Jonathan supaya tidak ada yang melaporkannya." jawab Pak Pramuja panjang lebar.
"Oh gitu ya, Pak. Terima kasih banyak Pak, sudah membantu saya membuka kasus ini, saya pamit dulu." Rara melangkahkankan kakinya keluar dari ruangan Pak Pramuja.
Pak Sandi masih memperhatikan punggung anak SMA itu yang kian menjauh.
"Di liatin mulu, suka ya sama Aurora?" ledek Pak Pramuja kepada anaknya.
"Sotoy lu bapak-bapak," balasnya dengan nada kesal.
Lain halnya dengan mereka, Juna masih setia mengintai setiap gerak-gerik Rara dan sekarang dia juga sudah tahu tujuan Rara datang ketempat ini.
Rara yang sedang berbicara dengan salah satu sipir wanita itu terkejut dengan kehadiran Melati.
"Ini semua gara-gara lo! Gue tau, lo kan yang ngelaporin abang gue ke polisi?!" tanya Melati.
"Kalo iya kenapa? Abang lo emang bersalah dalam kasus ini, jadi gak usah nyangkal." balas Rara, nada bicaranya terbilang sangat santai.
PLAK
Untuk kedua kalinya, Melati menampar pipi Rara karena tak kuat menahan emosinya saat ini.
"Mama gue nanyain Abang gue terus dan gue, gue harus jawab apa Ra?! Gimana kalo sampe Mama tau kalo anaknya di penjara, gue takut Ra, gue takut kalo misalkan Mama kena serangan jantung lagi. Dan ini semuanya gara-gara lo!" teriak Melati, suaranya terdengar bergetar. Matanya pun kini mengeluarkan cairan bening.
Rara tertawa sinis."Gila kali lo, udah nampar gue, nuduh gue, ngefitnah gue, ambil kebahagian gue, apa itu gak cukup Mel? Oh, iya satu lagi lo juga mau ngambil Athala 'kan, dari gue? Jahat lo Mel. Karena lo, kehidupan gue jadi hancur, gak ada yang percaya lagi sama gue, bahkan orangtua gue. Puaskan lo?!"
Melati mematung di tempat, apa ia terlalu jauh menyakiti Rara? Kenapa ketika melihat manik matanya, Melati juga bisa merasakan rasa sakitnya? Apa ia harus minta maaf ke Rara sekarang? Tidak-tidak, otaknya menolak keras ucapan dari hati Melati.
"Emang itu tujuan gue! Gue tuh iri sama lo, Ra. Lo punya segalanya, Ra. Sedangkan gue? Gue cuma anak yatim nan miskin dan gak punya apa-apa! Jadi, apa salah gue ngelakuin semua ini? Enggak 'kan?" tanya Melati dengan songongnya.
Rara menggeleng tak percaya, sikap Melati sekarang berubah drastis, tak seperti dulu lagi."Berubah, Mel. Jangan kayak gini, lo bukan Melati yang gue kenal."
"Emang, sekarang gue bukan Melati yang dulu lagi. Dan gue berubah juga gara-gara lo!" teriak Melati sambil menunjuk wajah Rara.
Tiba-tiba sipir wanita datang menghampiri keduanya."Maaf, jangan mencari keributan di sini."
Melati memutuskan pergi dan segera menghampiri Abangnya. Sedangkan Rara memilih keluar dari kantor polisi. Di depan kantor polisi, matanya menangkap mobil Juna yang terparkir di ujung sana. Apa jangan-jangan Juna mengikutinya sedari tadi?
Juna melangkahkan kakinya keluar dan tertangkap basah ketika Rara menatapnya dengan tajam.
"Lo ngapain ngikutin gue?" tanya Rara dengan datar.
"Gue cuma khawatir sama lo, Ra."
Rara berdecih sambil memutar bola matanya, jengah."Khawatir? Kenapa baru sekarang? Dari kemarin kemana aja, hah?!"
"Ra, gue minta maaf. Lo harus ikut gue pulang." balas Juna.
"Dih, enak aja! Jangan ganggu hidup gue, bisa?" tanya Rara dengan memaksakan diri untuk tersenyum.
"Ra, pliss...jangan gini,"
Satu tetes air mata lolos tanpa permisi,"Lo yang bikin kayak gini, Jun. Mending lo pergi! Jangan ganggu hidup gue, pliss..."
"Kalo itu mau lo, gue bakal lakuin." Dengan berat hati, Juna meninggalkan Rara sendirian di sini. Dalam lubuk hati yang paling dalam, Juna melakukan ini terpaksa. Mungkin, Rara masih mau sendiri, tidak boleh yang menganggu. Kecewa. Satu kata yang penyembuhannya butuh waktu yang lama.
Rara mengacak rambutnya, apa Juna kini benar-benar marah padanya? Persetan dengan semuanya, Rara memilih untuk pergi ke makam Olivia.
********
Gimana chapter ini?
Guys! Menurut kalian cerita seru apa membosankan sih?
Pokoknya, buat kalian yg masii stay nungguin cerita ini update makasii yaa. Makasii banyak udh ngikutin cerita aku sampe sejauh ini❤
Tinggalkan jejak berupa vote & komen bisa?
See you all>333333
KAMU SEDANG MEMBACA
Aurora [END/BELUM REVISI]
Teen Fiction[PART DI PRIVAT SECARA ACAK, FOLLOW TERLEBIH DAHULU] -Tentang aku, dia dan yang tak terlihat- Ini kisah Aurora atau yang sering di panggil Rara, gadis berparas cantik dengan kemampuan indigo yang ia miliki. Ia termasuk siswi kebanggaan di sekolahan...