Unexpected Kiss

71.3K 5.1K 244
                                    

Bluebell Cafe and Library

Sean mendongak menatap rangkaian kata yang tersusun di bagian atas bangunan di hadapannya. Matanya menyipit, menghindari sengatan matahari yang kian menusuk. Detik berikutnya, cowok itu mengalihkan pandangan ke arah handphone, membuka salah satu aplikasi chat untuk kembali memastikan.

Sean tak ingin salah masuk, tak ingin menyisihkan sebagian uangnya hanya untuk memesan menu di tempat yang salah. Penyakit kanker—kantong kering—yang dideritanya kini sudah memasuki stadium kronis. Kalau tidak hati-hati, bisa-bisa ia mati.

'Tante tunggu sekitar jam sebelas siang di Bluebell Cafe ya, Baby. Tante pakai blazer navy. Mungkin agak telat, ada meeting sebentar.'

Sean bergidik ngeri usai menilik kembali isi pesan Tante Natalie. Entah bagaimana nasibnya setelah ini, yang Sean tahu, ia tak mungkin berbalik pergi. Situasinya... benar-benar tak memungkinkan untuk lari.

"Nyari duit gini amat sih," keluhnya sembari menyeret langkah untuk memasuki bangunan di hadapannya.

Aroma pastry dan bunyi gemerincing dari pintu kafe yang terbuka menyambut Sean setibanya ia di dalam. Seorang pelayan yang berdiri di balik etalase berisi muffin, cupcake, dan berbagai jenis cake lain itu tersenyum ramah.

Sean menarik sudut bibirnya ke arah berlawanan, membalas senyum sang pelayan dengan jenis senyuman basa-basi. Mata cowok itu lantas berpatroli, mencari tempat duduk kosong sembari menanti sosok yang dirasa bisa menyelamatkannya dari permasalahan yang saat ini membelitnya.

Kedua bola mata Sean berhenti mencari ketika cowok itu mendapati seorang wanita dengan blazer navy yang dicirikan Tante Natalie dalam pesannya tadi pagi, tengah duduk sendiri di sudut kafe, dekat jendela kaca.

"Katanya agak telat..." gumamnya dengan alis bertaut, juga kening yang sedikit mengerut. "Mungkin nggak jadi meeting," lanjutnya sembari mengedik, tak begitu peduli meskipun telapak tangannya kini mulai basah.

Perlahan tapi pasti, Sean mendekat ke arah objek pandangnya. Kedua tangannya yang basah saling meremas, mencoba menetralkan detak jantungnya yang mulai tak keruan.

Come on, Sean. You can do it! Sean menyemangati dirinya sendiri dalam hati, meskipun sesungguhnya hal itu tak membantu, sama sekali.

'Request pertama, cium pipi.'

Langkah Sean mendadak terhenti begitu memorinya memutar kembali topik obrolannya dengan Tante Natalie tadi malam. Obrolan yang berlangsung di telepon selama hampir tiga jam itu sejujurnya menyisakan 'trauma' untuk Sean. Apalagi... saat si Tante mulai menyuarakan beberapa request yang sukses membuatnya mual.

Sean menepuk-nepuk dadanya sendiri. Berusaha mengumpulkan nyalinya yang kini nyaris tak bersisa, untuk kemudian kembali memangkas jaraknya dengan wanita ber-blazer navy itu.

"Ha-hai, Tante."

***

Aruna mengaduk orange squash miliknya yang tersisa seperempat tanpa minat. Tiga buah cupcake di hadapannya pun kini sudah tak berbentuk lantaran hanya ia mainkan dengan garpu, tanpa berminat untuk ia makan. Mata wanita itu bergerak ke sana-kemari, mencari seseorang yang sudah hampir dua jam ia nantikan kehadirannya.

"Satu lagi jatah cuti yang gue pake buat 'ketololan Aruna' jilid sekian." Aruna bergumam pada dirinya sendiri. Gadis itu mulai putus asa saat jam telah menunjukkan pukul sebelas siang, namun Levin—sang pemilik Bluebell Cafe and Library—sekaligus cinta pertamanya, tak juga muncul dalam jarak pandangannya.

Haruskah ia angkat kaki dari tempat ini? Atau bersabar dan menunggu sedikit lebih lama lagi?

Masalahnya, Aruna sudah telanjur menggunakan satu jatah cuti berharganya untuk 'misi'-nya hari ini. Sebagai seorang software engineer senior di salah satu start-up dengan title unicorn, sejujurnya ia harus agak tricky jika ingin mengambil cuti.

Sugar AuntieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang