Aruna menatap pantulan dirinya di dalam cermin, sekali lagi memastikan bahwa lingkaran hitam di bawah matanya sudah berhasil ter-cover dengan baik oleh concealer yang ia kenakan.
Sempat menangis selama beberapa jam, susah tidur hingga lewat tengah malam, ditambah harus menghadapi 'situasi' yang tak diduganya hingga pagi menjelang, membuat Aruna bangun pagi ini dengan tampilan nyaris seperti prajurit yang baru pulang perang. Lusuh dan kuyu.
Kalau bukan karena bantuan make up, mungkin teman-teman kantornya akan mengira bahwa Aruna baru saja menghadapi morning sickness. Salah-salah, ia malah dituduh sedang hamil muda.
"Semalem aku nyusahin ya, Tan?" Sean menyambut Aruna dengan pertanyaan saat mendapati wanita itu hendak menyeberangi ruang tengah, menuju dapur yang menyatu dengan ruang makan.
Ada jeda yang cukup lama sampai akhirnya Aruna menyahut dari balik lemari pendingin, "Lumayan." Usai memilih beberapa buah yang akan ia jadikan smoothies, dan meletakkannya di atas counter yang memisahkan dapur dan meja makan, pandangan gadis itu baru beralih ke arah Sean. "Makanya kalau ujan itu neduh, bukan malah main ujan-ujanan. Emang kamu bocah SD?"
Sean menyengir sembari mengucek sebelah matanya. Rambut depannya yang jatuh di depan mata tak luput dari 'pusaran' yang cowok itu buat dengan jarinya.
"Bisa nggak sih nggak usah kayak gitu ngucek matanya? Nanti rambut kamu masuk ke mata, bisa iritasi."
"Tante nih, kedengeran kayak ibu-ibu yang lagi marahin anaknya, deh." Sean bangkit dari sofa, masih dengan cengiran jenakanya. Handuk kecil yang semalaman berada di keningnya ia letakkan di atas coffee table, di depan sofa.
"Mau bikin apa?" tanya Sean yang kini sudah bergabung di dapur.
"Smoothies."
"Aku nggak suka smoothies."
Aruna melirik sinis. "Siapa juga yang nawarin kamu?"
Tawa Sean yang terdengar seperti nyanyian lumba-lumba itu seketika pecah. "Tante Aruna kenapa sih jutek terus? Ayo kita baikan," ajaknya sembari mengacungkan jari kelingkingnya ke hadapan Aruna.
"Males. Udah sana nggak usah deket-deket." Aruna mendorong bahu Sean agar cowok itu menjauh. Dari jarak sedekat ini, Aruna baru menyadari bahwa tingginya hanya sebatas dada cowok itu.
"By the way, di meja makan ada bubur. Sama... obat flu. Kalau kamu masih sakit, nggak usah pergi dulu, saya nggak akan ngusir kamu kok."
Sean tersenyum lagi, matanya menatap Aruna dengan penuh maksud.
"Kecuali kamu udah tau mau pergi ke mana, ya silakan aja. Nggak usah kepedean!"
"Iya iya! Ampun deh, galak banget, sih?! Padahal aku nggak ngomong apa-apa. Lagian, kalo mau perhatian sama aku juga santai aja kali, aku nggak keberatan. Nggak usah gengsi begi—" Sean memilih untuk tak menyelesaikan kalimatnya begitu mendapati tatapan Aruna yang sudah sebengis ibu tiri Cinderella.
"Kenapa berhenti? Ayo lanjutin." Aruna melipat tangannya di depan dada, tubuhnya ia sandarkan pada kitchen set di belakangnya.
Tak ingin membuat Aruna semakin murka, cepat-cepat Sean menggeleng. "Hehe. Nggak jadi. Aku tiba-tiba lupa mau ngomong apa."
***
"Ini buburnya Tante yang bikin? Enak banget."
"Kalo saya yang bikin, yang ada flu kamu sembuh, diare kamu kambuh." Aruna menyahut asal. "Saya nggak bakat masak. Bukan nggak bisa ya, tapi nggak bakat. Bubur itu hasil dari kemajuan teknologi yang namanya delivery order."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sugar Auntie
RomanceOpen Pre-Order | PART MASIH LENGKAP!! "Minta uang." Aruna nyaris tersedak saat mendengar permintaan Sean barusan. Anak ini... apa tidak pernah belajar yang namanya basa-basi? "Hah? Kamu pikir saya ini bapak moyang kamu apa? Seenaknya aja minta uang...