Mistakes and Heartbreaks

19.3K 2.9K 128
                                    

Aruna menatap layar ponselnya selama beberapa saat, menggulir room chat WhatsApp-nya tanpa minat, untuk kemudian membuka kontak seseorang dan menutupnya kembali dalam hitungan detik.

Wanita itu menggeleng kasar, ponsel yang sejak tadi berada dalam genggamannya ia masukan secara asal ke kantong blazer. Kalau tidak begitu, bisa-bisa tanpa sadar Aruna akan mengirimkan Sean sebuah chat memalukan yang—mungkin saja—berbunyi; 'Kamu di mana? Kenapa udah berhari-hari nggak pulang?'

"Enough is enough, Runa," peringatnya pada diri sendiri, sedikit frustrasi menghadapi otak dan hatinya yang saat ini sedang tak akur.

"Mbak, ini saya drop di mana ya?" Fokus Aruna terseret kembali ke dunia nyata. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling, memastikan di mana saat ini dirinya berada sebelum menjawab pertanyaan sang sopir taksi.

"Di lobi aja, Pak," sahut Aruna yang dibalas anggukkan oleh lawan bicaranya.

Beberapa hari terakhir ini, seluruh energi yang Aruna miliki rasanya seperti terkuras habis. Jangankan untuk membawa kendaraan sendiri, untuk bersantai seperti bermain game, belanja online, atau menonton Letters to Juliet saja ia tak memiliki tenaga. Alhasil, taksi menjadi alternatif yang Aruna pilih untuk mengantarnya berangkat dan pulang dari kantor.

Setelah taksi yang Aruna tumpangi berhenti di depan lobi apartemen, wanita itu turun dan melenggang melewati pintu lobi, berencana untuk berbelok menuju koridor lift saat seseorang tiba-tiba menepuk bahunya dan memanggil, "Kak..."

"Ya?" Aruna refleks menyahut dan membalikkan badan. Wanita itu cukup terkejut begitu mendapati siapa yang saat ini berdiri di hadapannya. "Kamu?"

"Emily. Namaku Emily." Gadis di hadapan Aruna mengulurkan tangan, mengajak Aruna untuk bersalaman. "Kakak... Aruna, kan?" lanjutnya lagi, sebuah senyum ramah terukir di wajah cantiknya, menerbitkan lesung pipit di kedua pipinya yang putih dan bersih.

Aruna mengangguk beberapa kali, matanya masih belum beralih dari lawan bicaranya, memindai dari ujung rambut hingga ujung kaki. Well, pantas saja Sean lebih memilih Emily dibanding dirinya. Dari satu sampai sepuluh, poin sembilan rasanya tak terlalu berlebihan jika disematkan untuk gadis itu.

"Sean ada, Kak?"

Pertanyaan Emily membuat wajah Aruna sontak mengeras. "Sean belum pulang," jawabnya jutek.

"Tapi Sean nggak kenapa-kenapa kan, Kak?"

"Kenapa-kenapa gimana maksudnya?"

"Ya... kenapa-kenapa. Setelah pulang dari sini beberapa hari lalu, aku nggak pernah bisa hubungin dia. Chat yang aku kirim juga selalu centang satu. Telepon nggak pernah nyambung, nomernya nggak aktif. Beberapa hari ini, Sean bahkan nggak masuk kuliah. Apa Sean masih sakit, Kak?"

Alis Aruna bertemu di tengah. Informasi yang Emily sampaikan barusan cukup membuatnya was-was. Menghilang ke mana anak itu?

"Kamu pacarnya, kan? Masa dia nggak ngabarin kamu sama sekali?"

"Hah? Pacar? Bu—bukan..."

Kening Aruna sontak mengernyit begitu mendengar penyangkalan yang Emily ucapkan. Dia merasa kecolongan. Jadi yang kemarin itu... Sean bohong? Anak itu benar-benar!

"Duh, dari mana ya aku ceritanya?" lanjut Emily sembari menatap Aruna, bingung.

"Dari awal." Aruna menyahut kilat.

"Ceritanya bakal panjang, boleh sambil duduk nggak, Kak?"

Aruna mematrolikan pandangan ke segala arah. Tatapannya terhenti pada kafe yang terletak tak jauh dari lobi. Wanita itu ganti melirik jam di pergelangan tangannya. Pukul delapan lewat lima menit. Masih ada waktu kurang lebih dua jam sebelum kafe itu tutup.

Sugar AuntieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang