Fool for You

18.2K 2.9K 98
                                    

"Kamu ngapain sama cewek itu di apartemenku?" Pertanyaan Aruna yang serupa peluru itu menyambut Sean tepat setelah lelaki itu mengantar 'tamu'-nya keluar dari apartemen.

"Udah berapa cewek yang kamu undang ke sini kalau aku lagi nggak ada?" cecar Aruna lagi, tangannya terlipat di depan dada, sorotnya yang tajam menghunus tepat di manik mata Sean.

Aruna tak habis pikir, bisa-bisanya Sean membawa wanita, yang entah siapa, ke dalam apartemennya. Keduanya bahkan saling berpelukan di tempat yang selama ini Aruna anggap sebagai teritori pribadinya. Gila!

Sean melangkah mendekat ke arah sofa hijau yang saat ini Aruna singgahi, namun, belum sempat lelaki itu duduk di sebelah Aruna, wanita itu sudah lebih dulu bangkit dan berjalan menjauh.

"Let me explain."

"Then explain to me, who the hell she is? Pacar kamu? Udah ngapain aja kalian selama aku nggak ada?"

Sean tak langsung menyahut. Lelaki itu menyugar rambut depannya yang jatuh di atas dahi, menahannya di atas kepala selama beberapa saat, berusaha meredakan sakit yang sejak tadi malam tak juga enyah dari kepalanya.

"Kamu nih... bener-bener nggak tau diri apa gimana, sih?! Harusnya kamu bersyukur, selama ini hidup kamu aku yang tanggung. Coba kamu pikir, untungnya buat aku apa?! Mungkin selama ini kamu diem-diem ngetawain aku ya? Ngebego-begoin aku? Kok ada Tante-Tante nyaris tiga puluh tahun, dengan bodohnya, dengan sadarnya, mau aja kamu manfaatin. Gitu ya?"

"Kak Runa... denger dulu. Kalau Kak Runa ngegas terus kapan aku bisa jelasin?"

"Kamu mau ngomong apa? Jelasin apa?" Aruna menantang, namun saat Sean kembali mencoba mendekatinya, wanita itu lagi-lagi menghindar. "Jaga jarak, aku nggak mau deket-deket kamu."

Sean menatap Aruna pasrah. Mood-nya tiba-tiba berubah. "Terserah Kak Runa aja deh mau mikir gimana. Toh kalau aku jelasin juga ujung-ujungnya pasti Kak Runa mentalin. Kak Runa kan... emang nggak pernah percaya sama aku."

Aruna tertawa sinis. Wajahnya mulai memerah karena menahan kesal.

"Oh, sekarang kamu mau playing victim? Ngerasa jadi korban ya? Aku kasih kamu kesempatan buat jelasin, tapi kamu bikin dalih seakan-akan aku nggak akan percaya. Bilang aja kalau semua tebakanku tadi itu bener."

Sean masih tak beranjak dari tempatnya berdiri. Kali ini ganti lelaki itu yang tertawa miris. Ia tak menyangka Aruna bisa menilai dirinya serendah itu. Ia bahkan tak pernah menutupi hal apa pun dari wanita itu. Semua yang terjadi dalam hidup Sean, hampir semua Aruna ketahui. Lantas mengapa Aruna masih menilainya seburuk itu?

"Kenapa selama ini kamu nggak minta tolong aja sama cewek itu? Kenapa harus sama aku? Dia pacar kamu, kan? Kamu nggak perlu cari-cari alesan lagi, aku tau kok, waktu itu aku pernah liat kamu dianter balik sama dia."

Sean menganggukkan kepalanya beberapa kali. Mendadak ia mengerti, apa yang waktu itu mendasari Aruna mendiaminya selama berhari-hari.

"Emang kenapa kalo dia pacarku? Iya dia emang pacarku, terus Kak Runa mau apa?" Lelaki itu menimpali tuduhan Aruna dengan sebuah pengakuan.

Aruna menatap Sean tak percaya. Bibir wanita itu terkunci rapat. Ada yang pecah menjadi kepingan di dalam hatinya. Entah bagaimana membahasakannya, yang jelas, saat ini yang Aruna inginkan hanyalah menghilang dari hadapan Sean, secepat yang ia mampu.

"Kenapa? Kok diem aja? Kak Runa cemburu? Bukannya Kak Runa sendiri yang waktu itu nggak ngebolehin aku buat suka sama Kak Runa. Let's not fall in love, you said. Terus kenapa kalo sekarang aku punya pacar?"

"Siapa yang cemburu? Aku nggak peduli ya, kamu mau ngelakuin hal apa, sama siapa, dengan tujuan apa, asal jangan di tempatku!" Aruna nyaris menjerit, tak mampu menahan emosi dan kekesalannya. "Apartemen ini wilayah pribadiku, Sean. Aku yakin kamu nggak segitu begonya untuk nggak paham apa maksudku. Kamu nggak ada hak untuk bawa siapa pun, termasuk pacar kamu, ke sini!"

Napas Aruna memburu, ia tak pernah merasa semarah ini. Prasangka buruknya semakin menjadi saat ia membayangkan apa yang mungkin saja Sean lakukan dengan gadis itu di apartemennya saat ia tak ada.

"Jangan bilang kalau selama ini kamu pake kamar yang aku pinjemin buat—"

"What the hell?!" Sean tak membiarkan Aruna menyelesaikan tuduhannya. "Aku emang bukan orang baik, tapi aku nggak sebejat itu."

"Setelah apa yang aku lihat pake mataku sendiri? Harusnya dari dulu aku emang dengerin kata-kata Maura... bukan malah denial dan terus-terusan berpikir positif sama kamu." Nada sesal dan kecewa itu tak mampu Aruna sembunyikan dari kalimat terakhirnya.

Seperti remaja yang sedang tak akur, Aruna sengaja menabrak bahu Sean yang berdiri menghalangi jalannya untuk masuk ke dalam kamar. Aruna menutup—atau lebih tepatnya membanting—pintu kamar bercat putih itu sekeras yang ia mampu. Suara pintu kamar yang ditutup secara kasar membuat Sean sesaat tadi memejamkan matanya.

Sean menatap nyalang ke arah pintu kamar Aruna yang tertutup. Lelaki itu melangkah mendekat menuju bidang tersebut, kepalanya yang berdenyut sengaja ia benturkan ke pintu kamar Aruna beberapa kali, membuat Aruna yang tengah bersandar pada pintu bagian dalam kamarnya sedikit tersentak.

"Aku minta maaf." Hening beberapa saat sebelum Sean kembali melanjutkan. "Aku emang brengsek. Selama ini aku cuma manfaatin Kak Runa," aku Sean, yang kini kembali membenturkan kepalanya pada daun pintu.

"Aku juga minta maaf karena udah lancang bawa pacarku ke sini." Sean berujar lagi. "Itu kan yang mau Kak Runa denger? Pengakuan macem apa lagi yang mau Kak Runa denger dari aku? Your wish is my command."

Meski terhalang daun pintu, Aruna dapat mendengar jelas semua yang Sean katakan dari balik bidang tersebut. Untuk saat ini ia tak dapat membedakan, kalimat mana yang Sean ucapkan sebagai pengakuan, dan mana yang cowok itu fungsikan untuk sekadar membuat Aruna puas.

Aruna menggigit bibirnya, berusaha menahan tangis yang hampir pecah.

Belum. Ini belum saatnya. Ada satu hal lagi yang harus Aruna pastikan sebelum sisa harinya ia habiskan untuk meratapi luka hatinya.

"Pergi, Sean. Aku nggak mau lihat muka kamu," usir Aruna, dengan nada bergetar.

Sean menganggukkan kepala meski tahu Aruna tak dapat melihat bahasa tubuhnya yang satu itu. "Okay," sahutnya, tak terdengar ragu sama sekali.

Tanpa berpikir dua kali, Sean kembali menegakkan tubuhnya dan mulai angkat kaki dari apartemen Aruna.

Apa pun yang Aruna mau, akan Sean turuti, termasuk menghilang dari hadapan wanita itu.

Lima belas menit berlalu, Aruna tak lagi merasakan kehadiran Sean di apartemennya. Keyakinan itu membuat Aruna lantas menuntaskan apa yang sejak tadi ia tahan. Sembari memeluk lututnya, wanita itu mulai menangis.

Sejujurnya Aruna masih tak mengerti, alasan apa yang membuat hatinya terasa seperih ini. Aruna bukannya tak menyadari bahwa selama ini Sean hanya memanfaatkannya. Bahkan Aruna yang meminta anak itu untuk tetap tinggal. Aruna yang memberi semua itu tanpa Sean minta. Lantas mengapa saat pengakuan itu keluar dari bibir Sean, ia menjadi sangat marah?

Mungkin memang bukan di sana sumber kekecewaan Aruna saat ini. Mungkin di tempat lain, di sudut hatinya yang mulai percaya dan terkhianati dalam waktu bersamaan.

'Apa lo segitu yakinnya kalau dia juga punya perasaan yang sama, kayak yang lo rasain sekarang?'

Aruna memang seyakin itu. Bahasa tubuh Sean, kata-kata manisnya, perhatian yang lelaki itu tunjukkan, tatap matanya, semua yang ada pada diri Sean berhasil membuat Aruna terbutakan.

'Emang kenapa kalo dia pacarku? Iya dia emang pacarku, terus Kak Runa mau apa?'

Namun tak seharusnya Aruna semudah itu menjatuhkan hati. Setelah semesta berkali-kali memberinya peringatan, harusnya ia lebih tahu diri dan menuruti apa yang logikanya percayai, bukan malah salah menangkap isyarat.

-Sugar Auntie-

Hi! Udah Sabtu lagi, besok minggu, besoknya senin :")

Tbh, chapter ini kayak sinetron nggak sih wkwkwkwk. Aku agak bingung bikin scene ribut-ributnya, karena aku anaknya cinta damai :)

Nahhh Sean dah ngaku tuhhh. Sebel nggak?

Kalo suka sama chapter ini, boleh tinggalin vote + komennya ya bestiee.

Sugar AuntieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang