A Shoulder to Cry On

20.4K 3.1K 178
                                    

Saat mendapati Sean berada di balik pintu apartemennya, hal pertama yang ingin Aruna lakukan adalah... berlari ke dalam pelukan cowok itu, mengekspresikan rasa leganya setelah beberapa hari terakhir ini pikirannya membentuk asumsi tak tentu arah.

Namun Aruna tak seberani itu. Dibanding melakukan hal se-ekstrem memeluk, wanita itu memilih untuk menatap Sean dari ujung kepala hingga kaki, memastikan bahwa tak ada satu pun yang kurang dari cowok itu.

"Besok aku beliin kamu payung, biar kamu nggak main ujan terus," ujar Aruna, merespons keadaan Sean yang kini basah kuyup pasca menerobos derasnya hujan di luar sana.

Sean bergeming, menatap Aruna tanpa suara.

Tak tahan dengan situasi yang saat ini mengungkung keduanya, Aruna lantas memberanikan diri untuk menarik pergelangan tangan Sean, membawa cowok itu masuk ke dalam apartemennya. Sean pun mengikuti dengan menyeret langkah.

"Duduk di sini dulu. Aku ambil anduk." Aruna memerintah. Sean hanya menurut dan duduk di atas bar stool.

Setelah beberapa saat menghilang di balik dinding kamar, Aruna kembali dengan handuk kering di tangannya. Wanita itu pun meletakkan handuk tersebut di atas kepala Sean. "Pegang sendiri, aku bikinin teh dulu," ujarnya lagi.

Aruna memutar langkah menuju kabinet pantry, di tengah hening yang kini menyelimuti seisi ruang makan, suara ujung sendok yang beradu dengan dinding cangkir seakan menggema ke setiap sudut ruangan.

"Kak Runa..." panggil Sean, untuk pertama kali sejak belasan menit yang lalu, cowok itu akhirnya bersuara.

"Ya?"

Sean bangkit dari bar stool, memangkas jaraknya dengan Aruna yang masih berkutat di balik kabinet pantry.

"Sean? Kamu mau ngapain?"

Sean tak menyahut. Tanpa aba-aba, cowok itu justru menarik tubuh Aruna ke dalam rengkuhannya, membuat wanita yang saat ini berada dalam kuasanya itu refleks mendelik.

"Sebentar aja..." sahut Sean kemudian. "Kalo abis ini Kak Runa mau nampar aku... atau ngusir aku lagi, nggak apa-apa. Tapi please, sebentar aja." Sean terdengar pasrah, berbanding terbalik dengan pelukannya yang justru terasa semakin erat.

Memberanikan diri, Aruna mengusap pelan punggung Sean yang tiba-tiba bergetar. Tak ia pedulikan bahu dan pakaiannya yang kini ikut basah, bukan hanya karena sisa air hujan yang melekat di tubuh Sean, tetapi juga air mata.

"It's okay... everything will be fine... it's okay..." Bagaikan mantra, Aruna mengucap kalimat itu berulang kali, meyakinkan Sean dan dirinya sendiri, bahwa setelah ini... semua akan baik-baik saja.

***

Aruna tak ingat, entah sejak kapan posisinya dan Sean telah berganti menjadi seintim ini. Sean pun tak ingat, dari mana ia mendapat keberanian untuk merebahkan kepalanya di pangkuan Aruna, seperti saat ini.

Jemari Aruna sibuk mengabsen helaian rambut Sean yang setengah basah. Usai mandi dan berganti baju—hal yang juga dilakukan Aruna, keduanya kembali bertemu di titik yang mereka sepakati, sofa ruang tengah.

"Mata mungkin bisa menipu, tapi hati nggak pernah bisa bohong, Sean," ucap Aruna, masih sambil membelai kepala Sean yang berada di pangkuannya. Sesekali Aruna juga menyisir surai lembut cowok itu dengan sela jari, menghadirkan aroma sampo yang menguar memenuhi indra penciumannya.

Sean baru saja merampungkan ceritanya; tentang cinta papanya yang ternyata begitu besar, tentang keluarga kecil Intan yang ternyata tak sempurna, tentang keegoisannya, tentang kata maaf yang akhirnya terucap dari bibir ibu tirinya, dan fakta-fakta lain yang hari ini berhasil membuat Sean seperti dijatuhi bom atom.

Sugar AuntieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang