Slow Grenade

22.2K 3.3K 76
                                        

"Tante tadi lihat apa?" Sean bertanya saat ia dan Aruna baru menginjak lobi apartemen. Peluh sebesar biji jagung yang kini membasahi dahi keduanya menandakan bahwa jarak yang mereka tempuh dari gedung seberang dengan berjalan kaki sembari menenteng kantong belanja berukuran besar, berhasil menghabiskan energi yang tak sedikit. Belum lagi menghadapi teriknya matahari sore yang tak mau diajak kompromi.

"Nggak lihat apa-apa," dusta Aruna.

Sean berdecak sebal. Cowok itu tahu, Aruna tak bersungguh-sungguh dengan jawabannya. "Bohong."

"Iya, Sean. Saya emang bohong. Terus kenapa?" Aruna menghentikan langkahnya, ia menekan tombol naik pada operating panel dan menunggu sampai pintu lift di hadapannya terbuka. "Kamu sih cari tisunya kelamaan. Ya saya samper aja ke sana. Mana saya tau kalau ternyata kamu lagi—"

"Yang tadi itu... Mama Intan sama Sky." Sean memotong penjelasan Aruna. Volume suaranya terdengar semakin mengecil di akhir kalimatnya. "Aku tau apa yang sekarang ada di pikiran Tante," lanjut Sean saat mendapati raut Aruna yang tiba-tiba berubah.

Aruna mengangguk beberapa kali. "Well, mama tiri kamu cantik juga ya. Saya pikir... umurnya—"

"Mama Intan emang cuma sepuluh tahun lebih tua dari aku," potong Sean lagi, ada nada rikuh yang terselip dari kalimatnya.

"It's okay. Saya cuma mau bilang kalau mama tiri kamu itu cantik kok, nggak ada maksud lain."

"Masih cantikan Tante."

"Orang buta juga bisa liat kal—"

"Orang buta mana ada yang bisa liat? Apa perlu kita debatin?" Untuk kesekian kalinya dalam hari ini, Sean kembali memotong ucapan Aruna. Dan sepertinya, hal itu sudah berevolusi menjadi kebiasaan barunya akhir-akhir ini.

"About Sky. I can see from his eyes, it seems like he really adores you." Aruna mencoba mengganti topik pembicaraan dibanding meladeni ajakan debat Sean. "Dia kayaknya sayang banget sama kamu."

Sean mempersilakan Aruna untuk masuk lebih dulu ke dalam lift yang baru terbuka, sebelum menyahut, "Mungkin."

"Bukan mungkin. Keliatan jelas kok. Lagian dia kan adik kamu, wajar kalau dia segitu sayangnya sama kakaknya sendiri."

"Berarti aku nggak wajar dong? Aku nggak pernah bisa sayang sama dia."

"Hah?" Aruna sedikit terkesiap mendengar jawaban tak terduga dari bibir Sean. Usai menempelkan access card-nya ke access reader yang tertempel di sisi depan lift, wanita itu mundur beberapa langkah, menyejajari tubuhnya dengan Sean yang tadi berada di belakangnya. "Emang anak itu punya dosa apa sama kamu?"

"Bukan dia, tapi mamanya."

"Ya tetep aja. Kalaupun mamanya ada salah sama kamu, bukan berarti anaknya ikut-ikutan jadi pendosa, kan?"

"Yeah, Tante gampang ngomong begitu. Tante kan nggak pernah ada di posisiku. Setelah semua yang mamanya lakuin sama keluargaku, juga beberapa hal yang secara nggak sengaja anak itu curi dari aku, apa mungkin aku bisa sayang sama dia?"

Aruna speechless selama beberapa saat. Suasana di dalam kotak lift pun berubah hening. Kebisuan mengunci bibir keduanya hingga suara 'Ting' akhirnya terdengar, pertanda keduanya sudah sampai di lantai yang mereka tuju.

Sean kembali mempersilakan Aruna untuk melangkah lebih dulu.

Setelah keluar dari kotak lift, barulah Aruna kembali bersuara. "Emang apa sih yang udah dilakuin ibu tiri kamu itu? Sampai kamu... kelihatan segitu nggak sukanya sama dia," cecarnya tanpa kehati-hatian. Padahal, biasanya Aruna paling anti bertanya tentang sesuatu yang terlalu personal. "Masih soal warisan yang waktu itu kamu ceritain?"

Sugar AuntieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang