Terhitung sudah empat hari Aruna dan Sean tak saling menyapa.
Sehari setelah 'tragedi' kotak spageti itu terjadi, Sean telah mencoba untuk mengajak partner satu atapnya itu bicara. Sayangnya, Aruna tetap membisu dengan alasan yang tak Sean pahami.
Beberapa hari terakhir pun Aruna terlihat sibuk dengan urusan kantornya. Pergi pagi-pagi sekali, dan pulang kelewat malam. Bahkan ia tak lagi menyentuh sarapan buatan Sean. Bukankah itu pertanda bahwa ada yang tak beres dengan wanita itu?
Aruna menatap layar ponselnya dengan dahi mengerut. Sebuah pesan datang dari Sean. Bukan nama pengirimnya yang membuat kening gadis itu mengernyit heran, melainkan isi pesannya.
'Aku di bawah.'
"Bawah mana?" Aruna bertanya kepada dirinya sendiri. Jelas saja, saat ini gadis itu tengah berada di ruang kerja kantornya, seorang diri.
Jam kerja memang telah berakhir sejak satu jam yang lalu, tetapi Aruna masih tak beranjak dari meja kerjanya. Menurutnya, menyibukkan diri dengan pekerjaan yang tak ada habisnya terasa lebih baik dibanding harus bertemu dan terang-terangan mendiamkan Sean, seperti yang ia lakukan akhir-akhir ini.
'Di lobi gedung kantor Kak Runa.'
Pesan kedua hadir, menjawab kebingungan Aruna yang bahkan belum sempat gadis itu tanyakan kepada Sean.
'Aku bakal terus di sini kalau Kak Runa nggak mau nemuin aku.'
Pesan ketiga yang Aruna terima berhasil membuat wanita itu berdecak. Rasanya ia ingin pura-pura tak peduli, namun ini Sean, bocah itu kan... bisa saja benar-benar nekat.
'Aku serius. We need to talk.'
"I know you're serious. But can you be quiet for a moment?" Aruna yang mulai risi dengan bunyi notifikasi pesan yang diterimanya dalam hitungan detik itu mengomel sendiri. Secepat kilat, gadis itu menjejalkan barang-barangnya—termasuk ponselnya yang terus berdenting—ke dalam shoulder bag secara asal.
Aruna mematrolikan pandangan ke seluruh penjuru ruangan. Usai memastikan tak ada yang tertinggal, dan semua peralatan elektronik aman pada tempatnya, gadis itu mulai beranjak menuju lift, setelah sebelumnya singgah di mesin absensi.
Pintu lift terbuka tak lama setelah Aruna menekan tombol turun pada operating panel. Kotak besi itu kosong. Aruna menyandarkan kepalanya pada dinding lift.
Di tengah keheningan yang kini merengkuh raganya, ada kebisingan dalam kepala Aruna yang justru meminta atensinya. Tentang Sean. Tentang pertanyaan yang telah mampu Aruna tebak. Jujur saja, ia belum siap jika harus berhadapan dengan lelaki itu.
Aruna menyeret langkah menuju lobi utama gedung setelah denting lift berbunyi. Dari kejauhan, ia dapat melihat Sean berdiri di dekat pintu masuk gedung sembari melipat kedua tangannya di depan dada.
Untuk beberapa saat, bola mata Aruna bertemu dengan milik Sean, memancing anak itu untuk mendekat ke arahnya.
"Dari mana kamu tau alamat kantorku?"
"Come on, kita udah berbulan-bulan satu atap, masa iya aku nggak tau?"
Aruna mendelik mendengar pernyataan Sean yang seringan bulu. Mata gadis itu berpatroli ke segala arah, takut ada kenalannya yang mendengar ujaran Sean barusan—terutama di bagian 'satu atap'—dan mulai berpikir yang tidak-tidak.
"Kamu... liat-liat dong kalo mau ngomong begitu."
"Kenapa? Kan kita emang satu atap. Aku nggak bilang kita satu kasur."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sugar Auntie
RomanceOpen Pre-Order | PART MASIH LENGKAP!! "Minta uang." Aruna nyaris tersedak saat mendengar permintaan Sean barusan. Anak ini... apa tidak pernah belajar yang namanya basa-basi? "Hah? Kamu pikir saya ini bapak moyang kamu apa? Seenaknya aja minta uang...