"Cantik amat. Ini yang mau nikah Tante Maura atau Kak Runa, sih?" Pujian manis itu dilayangkan Sean dari balik counter. Agaknya, cowok itu tengah sibuk dengan rutinitas paginya; menyiapkan sarapan untuk Aruna dan dirinya sendiri, tentu saja.
Aruna mematut diri. Sebuah bridesmaid dress berbahan tulle, dengan warna dominan dusty pink yang ia kenakan memang melekat sempurna di tubuhnya. Namun tetap saja, ocehan ngawur Sean barusan terdengar berlebihan. Apalagi, saat ini Aruna hanya mengaplikasikan make up sederhana pada wajahnya.
"Kamu mending simpen sweet talk kamu itu buat pacar kamu nanti. Jangan ke aku, nggak mempan."
"It's not just a sweet talk, Kak. I'm telling the truth. Coba ngaca. Kak Runa tuh sebelas-dua belas sama bidadari, tau?"
"Sorry, Sean. Aku lagi nggak ada duit. Next time aja." Aruna berusaha membungkam bibir Sean yang manis namun beracun itu. Lihat saja, belum apa-apa, kalimat Sean tadi telah berhasil membuat wajahnya panas.
"Siapa yang minta duit?"
"Itu barusan, apa namanya?"
"Susah deh kalo ngomong sama orang yang pikirannya selalu negatif. Dipuji, malah nuduh. Curigaan banget. Emang aku dosa apa sih sama Kak Runa?" Sean sengaja mencebikkan bibir, membuat Aruna terkikik geli, dan tak tahan untuk tak menghadiahi lelaki itu dengan cubitan di pipi.
"Bibirnya nggak usah dimaju-majuin gitu. Emang dipikir imut?"
Mendapat 'serangan' yang tak ia duga, Sean lantas membeku di tempatnya berdiri. Mata bulat lelaki itu mengerjap beberapa kali, maniknya tak beralih dari milik Aruna yang kini ganti menatapnya salah tingkah, seperti baru tersadar akan tingkahnya yang tak biasa.
Shit!
Barusan itu, apa sih yang Aruna lakukan?
Sean meraih tangan Aruna yang masih berada di kedua pipinya, membawanya ke dalam genggamannya yang hangat. "Kak Runa, apa bener-bener bakal jadian sama dia?" tanya cowok itu, yang sukses membuat Aruna mengernyit tak mengerti. "Si bule itu."
"Kenapa tiba-tiba nanya gitu?" Aruna menarik tangannya yang semula berada dalam kuasa Sean. Gadis itu mundur beberapa langkah hingga pinggulnya menyentuh ujung counter.
Menyadari ada yang salah dengan pertanyaannya barusan, Sean cepat-cepat membetulkan posisi berdirinya yang semakin condong ke arah Aruna. "Nggak jadi deh. Lupain aja," ujarnya yang sudah kembali sibuk dengan sandwich telur buatannya.
"Kenapa muka kamu jadi asem gitu?" Aruna mencecar, rasa penasarannya menjadi, terlebih saat melihat wajah Sean yang dalam sekejap berubah masam.
"Masih aja nanya. Kak Runa nggak nyium bau gosong apa? Aku nih lagi terbakar api cemburu."
"Mulai deh..." Aruna menepuk bahu Sean, berusaha menutupi gelagatnya yang mulai salah tingkah. "Soal aku dan Bryan... yeah, we'll see. Tapi untuk saat ini, aku juga belum tau."
Sebersit senyum asimetris tersungging di bibir Sean begitu mendengar jawaban diplomatis Aruna.
Lewat ekor matanya, Aruna pun menyadari bahasa tubuh Sean yang satu itu. Ia tahu persis, makna apa yang terkandung dalam senyum Sean tadi. Semua yang ada di hadapannya saat ini layaknya bulan di kala purnama. Jelas dan terang benderang. Hanya saja, Aruna berusaha mengelak. Bukankah dirinya dan Sean sudah sepakat untuk tak saling jatuh cinta?
Lagi pula... yang benar saja. Lelaki di hadapannya ini kan berusia sembilan tahun lebih muda darinya. Aruna belum gila, dan tak ingin menjadi gila.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sugar Auntie
RomanceOpen Pre-Order | PART MASIH LENGKAP!! "Minta uang." Aruna nyaris tersedak saat mendengar permintaan Sean barusan. Anak ini... apa tidak pernah belajar yang namanya basa-basi? "Hah? Kamu pikir saya ini bapak moyang kamu apa? Seenaknya aja minta uang...