Something for the Pain

19.4K 3.1K 80
                                    

"Judulnya sih traktir, tapi kenapa setengah loyang malah kamu habisin sendiri ya?" Aruna menepuk punggung tangan Sean yang terulur ke arah coffee table, bersiap meraih potongan pizza untuk kali kesekian. "Aku yang bayar, kamu yang ngabisin. Tapi framing-nya kamu yang traktir. Gimana coba konsepnya?"

Sean melirik Aruna dengan tatap tak suka. "Berisik."

"Idih. Kenapa jadi galakan kamu?"

"Ngalah kek sama anak kecil." Sean berujar tanpa mengalihkan tatapannya dari Liga Inggris yang tersiar melalui LED TV.

Aruna memutar kedua bola matanya, gemas. "Anak kecil mana yang sanggup ngabisin setengah loyang pizza dalam waktu kurang dari setengah jam, sendirian? Kamu nih sebenernya makhluk apa sih?"

"Makhluk Tuhan paling tampan." Sean menjawab asal, membuat Aruna tak tahan untuk tak menghiadiahi anak itu dengan cebikkan.

"Ya, ya, ya, terserah kamu."

Sean tersenyum tipis saat mendengar tanggapan yang serupa kibaran bendera putih dari lawan bicaranya, tanda menyerah. "By the way, ada nggak yang pengin Kak Runa tau dari aku?" tanyanya, kedua pipinya yang penuh dengan potongan pizza menggembung, sibuk mengunyah.

"Kenapa tiba-tiba nanya gitu?" Aruna mengernyit dalam.

"Jawab aja."

"Nggak ada." Barusan itu, Aruna memang tak sepenuhnya jujur, ada banyak teka-teki yang ingin ia ketahui tentang bocah di sampingnya ini. Semua yang ada pada diri Sean, layaknya puzzle. Dan sejauh ini, hanya memiliki beberapa kepingan dari puzzle tersebut sering kali membuatnya gemas.

Tetapi gadis itu sadar, ia tak memiliki hak apa-apa untuk menuntut apa-apa, kan?

"Tadi waktu aku baru dateng, Kak Runa nodong aku banyak pertanyaan. Giliran sekarang aku buka jalan, malah bilang nggak ada."

Aruna mendengus pasrah. "Yaudah, kenapa kamu nggak jawab aja pertanyaanku yang tadi? Kamu jatoh dari mana? Kok bisa? Kenapa kamu baru pulang? Dua malem kemarin kamu tidur di mana? Kenapa nggak coba hubungin aku pake wifi kampus?"

"Ck!" Sean berdecak sebal. "Pertanyaannya nggak seru."

"Ya terus kamu maunya aku kasih pertanyaan soal apa? Soal ikan-ikanan kayak di seaworld waktu itu?"

Sean mendecih. "Let me tell you about my secret, then." Lelaki itu beranjak dari sofa hijau yang semula menjadi singgasananya. Ia menghempaskan tubuhnya ke atas karpet bulu yang mengelilingi coffee table. Kakinya yang panjang membentuk posisi sila, menghadap ke arah Aruna, bersiap mendongengkan sebuah kisah yang katanya 'rahasia'.

Aruna yang masih bertahan di atas sofa mengerutkan kening. Semakin heran begitu mendapati Sean meraih remote TV untuk kemudian mematikan siaran Liga Inggris yang biasanya tak pernah anak itu lewati.

"Kamu jangan bikin aku takut deh. Udah lewat tengah malem nih. Rahasia apaan? Jangan bilang kalo kamu sebenernya—"

"Siluman kaktus," potong Sean cepat. "Ya enggaklah!"

Aruna memajukan bibir bawahnya."Ya terus? Siluman apa?"

"Mana ada siluman ganteng begini."

"Here we go again..." Aruna memutar kedua bola matanya yang disambut Sean dengan kikikkan geli. Bukan Sean namanya kalau tidak narsis.

"Kak Runa yakin, nggak penasaran sama masalahku dan Papa?" Sean mendadak bertanya dengan nada amat serius, berbanding terbalik dengan tawa meledeknya beberapa detik lalu.

Aruna tak lantas menyahuti, cukup lama gadis itu membisu hingga akhirnya mengedikkan bahu. Ia seketika paham. Ini semua pasti berhubungan dengan aksi ngambek Sean kemarin.

Sugar AuntieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang