"Ka-kamu?" Nada suara Aruna menukik di akhir, tak mampu menahan keterkejutannya. Seperti melihat hantu, tanpa sadar gadis itu mundur beberapa langkah, tatapannya tertuju lurus ke arah seorang lelaki yang kini balik menatapnya.
"Oh, hai."
"Kamu... kenal saya?" Aruna bertanya ragu, hanya itu yang mampu keluar dari bibirnya.
Lelaki itu mengangguk santai. "Kamu pelanggan Bluebell, kan? Saya sering lihat kamu mampir ke sana." Dia mengulurkan tangan, mengajak Aruna bersalaman. "Saya Levin, owner-nya Bluebell."
'I know, Levin. I fucking know! Jauh sebelum kamu bilang, apa pun tentang kamu, aku selalu tau,' jerit Aruna dalam hati.
Selama beberapa detik, Aruna hanya mampu menatap kosong ke arah tangan yang menggantung di hadapannya. Tangan yang sejak tiga belas tahun lalu selalu membuatnya penasaran. Seperti apa rasanya menggenggam tangan seorang Levin?
Melihat Aruna yang terdiam seperti manekin, Levin menurunkan tangannya perlahan. "Mungkin saya salah or—"
"Ah, sorry." Aruna bergegas menyambut uluran tangan tersebut. "Nice to know you, Levin." Ada rasa pahit yang gadis itu cecap saat menyebut nama Levin. "Bluebell is... perfect. Muffin blueberry-nya selalu jadi favorit saya."
Muffin blueberry? For God's sake, Aruna bahkan tak ingat bagaimana rasa muffin blueberry yang pernah ia pesan tempo hari. Barusan itu, ia asal bicara.
Selama tiga belas tahun mencintai Levin dalam diam, Aruna selalu berharap hari ini akan tiba. Hari di mana akhirnya Levin menyadari eksistensinya di dunia.
Rentetan skenario kebetulan yang tak masuk akal seperti yang saat ini menimpanya pun sebenarnya sudah lama berada dalam kepala Aruna, terajut dalam mimpi-mimpi indahnya sebelum tibur. Siapa yang menyangka, Tuhan justru mewujudkan bagian dari 'khayalan babu'-nya itu di acara pernikahan Maura?
"Namu kamu?"
"Nama?" Aruna mengulangi, terlihat linglung saat Levin menanyakan namanya. "A-Aruna."
"Aruna," ulang Levin, membuat sang pemilik nama gemetar tak keruan.
Kedua kaki Aruna rasanya sudah kehilangan tenaga. Kalau bukan karena meja dessert di belakangnya yang ia jadikan sandaran, mungkin sudah sejak tadi ia jatuh terduduk di atas rumput.
"Vin, kok lama sih?"
Namun, mimpi-mimpi yang dalam sekejap berubah menjadi kenyataan itu tiba-tiba runtuh saat sebuah suara asing memecah momen kebersamaan Aruna dan Levin.
Seorang wanita, dengan floral maxi dress berpotongan asimetris di bagian bawah menghampiri Levin untuk kemudian menggelayuti lengan lelaki itu. "Balik sekarang yuk? Mama udah nungguin di rumah. Kalila juga udah telepon dari tadi, nanyain Om Levin katanya."
Wanita itu... pasti Violet, kan?
Aruna menatap Violet dari ujung kepala hingga ujung kaki. Gadis itu mendecih. Dari satu sampai sepuluh, Aruna memberi Violet poin tujuh. Ia tak habis pikir, bagaimana bisa seorang Levin yang memiliki poin sepuluh itu jatuh cinta dengan wanita yang... arghh!
"Saya duluan ya, Aruna. Sesempatnya datang lagi ke Bluebell. Ada muffin blueberry gratis untuk kamu." Levin tersenyum ramah, membuat Aruna semakin hilang arah. Tak lama kemudian, lelaki itu menghilang dari jarak pandang Aruna, membaur dengan tamu undangan lain, bersama wanita yang... dicintainya.
Aruna tersenyum masam. Bukankah semesta baru saja menyadarkannya, bahwa lelaki yang setengah mati ia dambakan itu telah menjadi milik orang lain? Se-u-tuh-nya!
KAMU SEDANG MEMBACA
Sugar Auntie
RomansOpen Pre-Order | PART MASIH LENGKAP!! "Minta uang." Aruna nyaris tersedak saat mendengar permintaan Sean barusan. Anak ini... apa tidak pernah belajar yang namanya basa-basi? "Hah? Kamu pikir saya ini bapak moyang kamu apa? Seenaknya aja minta uang...