Growing Pains

19.1K 2.9K 409
                                    

Sewaktu Damar mengatakan akan menghubungi Intan untuk menjemputnya pulang, Sean kira lelaki itu tak sungguh-sungguh dengan ucapannya, mengingat Damar mengetahui bagaimana tidak baiknya hubungan Sean dengan sang ibu tiri. Lagi pula... rumah yang saat ini Intan tempati itu takkan pernah lagi menjadi tempatnya 'pulang'. Kalaupun iya, Sean bukan lagi anak kecil yang butuh diantar jemput, seperti saat ini.

"Mama ngapain di sini?" tanya Sean, menyambut kedatangan Intan yang melenggang masuk ke dalam kamar tanpa permisi.

"Jemput kamu pulang."

"Aku belum lupa jalan dan nggak ada niat buat balik ke rumah Papa."

Intan melipat kedua tangannya di depan dada, memandangi Sean yang tengah bersandar pada headboard tempat tidur. "Mas Damar bilang, kamu sakit," ujarnya, tak mengindahkan pengusiran yang terkandung dalam kalimat Sean tadi. "Ini akibatnya kalau kamu kabur-kaburan. Gejala tifus? Harusnya kamu nggak makan sembara—"

"Ma, kalau mau ribut jangan di sini. Nggak enak sama Om Damar." Sean memotong ocehan ibu tirinya yang belum tuntas. "Mama tenang aja, aku udah bilang sama Om Damar buat ngasih bagianku ke Mama dan Om Farid, ke Sky juga. Itu kan yang Mama mau? Untuk urusan legalnya, mungkin nanti akan diurus sama Om Damar. Jadi Mama nggak perlu sok perhatian begitu. Merinding aku dengernya."

Intan mengatupkan bibir. Tangannya yang semula terlipat di depan dada kini jatuh di samping tubuhnya. Ekspresinya pun tiba-tiba berubah.

"Selama ini, kamu selalu berpikir kalau Mama dan Sky yang mencuri semuanya dari kamu, kan?" pancing Intan, setelah beberapa saat tadi keduanya berteman dengan hening. "Nyatanya nggak begitu. Semua hal yang sejak awal milik kamu, nggak pernah papamu biarkan jadi milik orang lain. Termasuk rasa sayangnya untuk kamu.

"Cuma kamu, Sean. Selalu kamu yang papamu pikirkan. Di depan semua relasi bisnisnya pun cuma nama kamu yang papamu sebut. Semua yang dia lakukan terkait pekerjaannya, bukan lagi untuk perusahaan, tapi untuk memastikan kalau masa depan kamu aman."

Sean mengangkat kepala, tatapannya yang semula tertuju pada selimut yang menutupi kakinya, kini beralih pada Intan yang menatapnya nanar. Sekilas, Sean dapat melihat sebersit luka dari sorot itu.

Semua yang tadi Intan katakan, sejujurnya Sean sudah mengetahuinya sejak lama. Damar pun sudah berulang kali mengatakan hal tersebut. Namun luka hatinya membuat Sean membentuk pertahanan diri, dan denial adalah cara yang cowok itu gunakan sebagai perisainya selama ini.

"Soal tuntutan itu... Mama akui Mama salah. Seharusnya Mama nggak segitu terkejutnya begitu tau kalau papamu bisa setega itu sama Sky. Tapi sama seperti papamu, semua yang Mama lakukan ini juga demi masa depan Sky. Apa Mama salah kalau menuntut keadilan? Biar bagaimanapun, Sky juga anaknya, kan? Meskipun mungkin dia nggak lahir dari cinta, seperti kamu."

Sean mengerutkan kening, tak memahami maksud perkataan Intan. Tidak lahir dari cinta? Maksudnya apa?

"Papamu mungkin memang menyayangi Sky, tapi ya sekadar naluri karena dia ayahnya. Sejak awal, Sky memang bukan anak yang dia harapkan. Kamu seharusnya tau itu."

Intan meletakkan tas tangannya di atas nakas. Dia menjatuhkan tubuhnya di tepi ranjang, mengambil sebuah bantal dan meletakkannya di pangkuan.

"Nggak pernah ada cinta selama tujuh tahun pernikahan kami, Sean." Kedua bola mata Intan mulai berkaca, kedua tangannya saling meremas di bawah bantal.

Sudah saatnya. Intan tak ingin lagi menyembunyikan apa pun dari Sean, tak ingin lagi menjadi salah satu 'tokoh jahat' dalam kisah hidup orang lain, meskipun mungkin kenyataannya memang nyaris seperti itu.

"Apa kamu tau, gimana rasanya tujuh tahun hidup bersama orang yang setengah mati kamu cintai, tapi orang itu nggak pernah bisa membalas perasaan kamu, sekeras apa pun kamu mencoba untuk jadi apa yang dia mau?

Sugar AuntieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang