Should I Stay or Should I Go?

18.8K 2.9K 120
                                    

Aruna mendapati hal yang tak biasa saat wanita itu menginjakkan kakinya di area dapur. Meja makannya pagi ini bersih. Entah ke mana perginya sarapan buatan Sean yang biasa cowok itu siapkan setiap hari.

"Apa dia belum bangun?"

Wanita berambut sebahu itu melirik jam di pergelangan tangan kirinya, pukul sembilan kurang sepuluh menit. Pandangannya kemudian beralih pada pintu kamar Sean yang tertutup. Setahu Aruna, Sean adalah morning person, meskipun hari ini adalah Sabtu, biasanya cowok itu akan tetap keluar kamar sebelum pukul delapan pagi.

Aruna melangkah menuju kamar yang selama beberapa bulan terakhir ini Sean tempati. Setengah ragu, ia mengetuk pintu kamar tersebut secara perlahan.

"Sean... kamu belum bangun ya?"

Selama beberapa saat, Aruna sama sekali tak mendengar sahutan dari balik bidang tersebut.

Gadis itu mulai berpikir, mungkin Sean sudah pergi pagi-pagi sekali. Namun pikiran itu segera ditepis oleh dirinya sendiri. Selama Sean tinggal bersamanya, bisa dibilang cowok itu cukup tahu sopan santun. Ia selalu memberi Aruna kabar terkait rencananya setiap hari, bahkan hal detail semacam pulang jam berapa dan berangkat jam berapa pun selalu anak itu sertakan.

Jika tak sempat memberitahu secara langsung, biasanya Sean akan mengirimi Aruna chat atau meninggalkan note di pintu lemari pendingin. Lagi pula, sepagi apa pun Sean pergi, meja makan tak pernah cowok itu biarkan kosong, tak peduli Aruna akan menyentuh sarapan buatannya atau tidak.

Aruna kembali mengetuk daun pintu di hadapannya beberapa kali. Setelah tak juga mendapatkan jawaban, ia memberanikan diri untuk memutar kenop pintu dan masuk ke dalamnya.

Selama beberapa detik, Aruna menahan napas. Mendapati Sean masih meringkuk di balik selimutnya, wanita itu memutuskan untuk cepat-cepat berbalik. Jika tiba-tiba Sean terbangun dan menemukan Aruna ada di kamarnya, bukan tidak mungkin kan kalau cowok itu akan berpikir macam-macam?

"Kak Runa?"

Sayangnya, langkah Aruna tak cukup gesit. Sebelum gadis itu sempat keluar dari kamar tersebut, sang penghuni kamar sudah lebih dulu memergokinya.

Aruna memutar tubuh. Wanita itu memamerkan cengiran canggungnya. "Ha-hai."

"Ngapain?" Sean bertanya, suaranya berat dan serak. Mata lelaki itu menyipit untuk beberapa saat, berusaha beradaptasi dengan cahaya matahari yang menembus dinding kaca di kamarnya.

"Just checking. Nggak biasanya jam segini meja makan masih kosong," jelas Aruna, masih dengan cengiran canggungnya.

Sean menarik selimutnya hingga setengah wajahnya tertutup. "Hari ini aku libur dulu ya," ujarnya dari balik selimut, terdengar tak bersemangat.

Melihat ada yang aneh dari cowok itu, Aruna lantas membatalkan rencana kaburnya. Wanita itu mendekat ke arah Sean, dan duduk di pinggir ranjangnya. "Kamu kenapa? Sakit?"

Sean mengangguk, tak berniat menutupi apa yang saat ini tengah ia rasakan. "Sakit perut, dikit."

"Dari kapan?"

"Kayaknya semalem."

Aruna refleks menempelkan punggung tangannya pada kening Sean. "Badan kamu juga panas. Semalem kamu makan apa sih?"

"Pecel lele di pinggir jalan. Kan bareng Kak Runa. Sogokkan biar Kak Runa berhenti ngambek sama aku. Masa lupa?"

Aruna mencebik. Di saat kondisinya sedang tidak baik pun Sean masih saja cerewet.

"Kamu nggak biasa ya makan-makanan pinggir jalan gitu? Biarpun sekarang kamu gembel, tetep aja perut kamu settingan-nya beda sama rakyat jelata."

Sugar AuntieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang